Dibawah ini terdapat beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tertakit dengan permasalahan Pidana :
45. III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Yang dimaksudkan dengan “menyuruh membuat palsu” dalam pasal 263 K.U.H.P. ialah menyuruh membuat surat yang isinya bertentangan dengan kebenaran.
UMUM
1.I.2. Perubahan dalam
perundang-undangan.
Ketentuan pasal 1 ayat 2 K.U.H.P.
berlaku juga dalam perkara yang sedang dalam tingkat banding.
Dicabutnya Undang-undang
Pengendalian Harga tahun 1948 dengan diganti dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang No. 9 tahun 1962, bukanlah merupakan perubahan perundang-undangan,
karena prinsip bahwa harga-harga dan jasa dari barang-barang harus diawasi
tetap dipertahankan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
23-5-1970 No. 27 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Kwee Tjin Hok.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
R. Subekti S.H.; 2. Indroharto S.H.; 3.
Busthanul Arifin S.H.
2.I.2. Perubahan dalam
perundang-undangan.
Penggantian Undang-undang
Deviezen tahun 1940 dengan Undang-undang tahun 1964 No. 32 tidak merupakan
perubahan perundang-undangan dalam arti pasal 1 ayat 2 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
1-3-1969 No. 136 K/Kr/1966.
Dalam Perkara : Jang Thung Ming
alias Joung Tjoeng Jong.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
R. Subekti S.H.; 2. M. Abdurrachman S.H.; 3. Busthanul Arifin SH.; 4.
Indroharto S.H.
3.I.2. Perubahan dalam
perundang-undangan.
Karena Undang-undang No. 17/1964
(tentang cheque kosong) telah dicabut dengan Undang-undang No. 12/1971 dan
terhadap terdakwa-terdakwa diperlakukan pasal 1 ayat 2 K.U.H.P.,
terdakwa-terdakwa dilepaskan dari Segala tuntutan hukum.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
27-5-1972 No. 72 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : 1. Mohamad Tohan
Iljas; 2. Wilson Hutauruk.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
Sardjono S.H.; 2. Busthanul Arifin S.H.;
3. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
4.I.2. Perubahan dalam
perundang-undangan.
Perubahan yang terjadi karena
peraturan “Dekon” tidak merupakan perubahan dalam perundang-undangan dalam arti
pasal 1 ayat 2 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
22-10-1963 No. 118 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Tjhia Kia Hin.
5.I.2. Perubahan dalam
perundang-undangan.
Perubahan nilai Rp. 25,-
termaksud dalam pasal 364, 373, 379 dan 407 K.U.H.P. menjadi Rp. 250,-
berdasarkan P.P.P.U. No. 16 tahun 1960 merupakan suatu perubahan dalam perundang-undangan
dalam arti pasal 1 ayat 2 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
13-2-1962 No. 93 K/Kr/1961.
Dalam Perkara : Hadisoemarta
alias Sukadi.
6.I.2. Perubahan dalam
perundang-undangan.
Karena pada waktu perkara
terdakwa diadili oleh Pengadilan Tinggi Ekonomi di Semarang Undang-Undang
Beras 1948 telah dicabut dengan Perpu No. 8 tahun 1962, perbuatan terdakwa yang
dilakukannya dalam tahun 1960-1961, berdasarkan pasal 1 ayat 2 K.U.H.P. tidak
lagi merupakan kejahatan atau pelanggaran.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
7-4-1963 No. 37 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Haji Mohamad Has.
7. I.2. Perubahan dalam
perundang-undangan.
Karena berdasarkan keputusan
Menteri Perdagangan tanggal 14 Maret 1963 semua peraturan tentang kewajiban
mengadakan catatan yang ditetapkan dalam atau berdasarkan pasal 9
Prijsbeheersching verordening 1948 dicabut, maka perbuatan terdakwa yang
dilakukan dalam tahun 1959, pada waktu perkaranya diadili oleh Pengadilan
Tinggi Ekonomi Semarang pada bulan April 1963 berdasarkan pasal 1 ayat 2
K.U.H.P. tidak lagi merupakan kejahatan atau pelanggaran.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
2-6-1946 No. 13 K/Kr/1946.
Dalam Perkara : Lie Tjan Tie.
8. I.2. Perubahan dalam
perundang-undangan.
Keberatan yang diajukan penuntut
kasasi: “bahwa Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri telah salah menerapkan
hukum dengan mempergunakan Undang-Undang No. 24/PRP/1960, sedang undang-undang
tersebut telah dicabut sejak tanggal 29 Maret 1971 dengan berlakunya
Undang-Undang No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
tidak dapat diterima karena dalam
pasal 36 Undang-undang No. 3/1971 ditentukan bahwa yang harus diperlakukan
adalah undang-undang yang berlaku pada saat tindak pidana dilakukan; sedang
dalam hal ini tindak pidana dilakukan sebelum berlakunya Undang-undang No.
3/1971
Putusan Mahkamah Agung tgl.
19-11-1974 No. 54 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Haji Mustafa
Umar.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
Oemar Seno Adji S.H.; 2. Purwosunu S.H.;
3. Busthanul Arifin S.H.
9. I.2. Perubahan dalam
perundangan-undangan.
Pada penggantian P.P. No. 20/1962
dengan P.P. No.20/1963 tidak ada perubahan mengenai norma-normanya, sehingga
dalam hal ini pasal 1 ayat 2 K.U.H.P. tidak dapat diperlakukan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
22-12-1964 No. 22 K/Sip/1964.
Dalam Perkara : Kiai Haji Achmad
Syarbini.
10. I.2. Perubahan dalam perundang-undangan
Walaupun keadaan bahaya sudah
dicabut dan dengan demikian semua peraturan-peraturan yang dikeluarkan berdasarkan
Undang-undang Keadaan Bahaya juga turut hapus, namun karena masih ada
peraturan-peraturan lain yang memuat larangan mengenai perhimpunan-perhimpunan
tertentu, “grond idee” dari pada Undang-undang Keadaan Bahaya tidaklah berubah,
maka tidaklah dapat dikatakan bahwa dalam hal ini telah ada perubahan
penundang-undangan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
7-1-1964 No. 143 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Joesoef bin
Boestam.
11. I.2. Perubahan dalam
perundang-undangan.
Keberatan dalam memori kasasi : -
bahwa dengan dicabutnya Peraturan Faktur mengenai barang-barang dalam perkara
ini, yakni ban2 oto, oleh surat keputusan Menteri Perdagangan tgl. 12-6-1953
No. 499/M/1963 haruslah diperlakukan pasal 1 ayat 2 K.U.H.P.
Tidak dapat dibenarkan, karena
Peraturan Faktur masih berlaku bagi 13 jenis barang, jadi perlunya faktur masih
diakui sehingga tidak terdapat perubahan perundangan-undangan menurut pasal 1
ayat 2 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
24-11-1964 No. 144 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Tan Tjoan Kok;
Tan Tjoan Eng; Tan Tjoan Hong.
12. I.2. Perubahan dalam
perundangan-undangan.
Keberatan yang diajukan dalam
memori kasasi : - bahwa karena dengan berlakunya Perpu No. 8 tahun 1962,
Rijstordonnantie 1948 tidak berlaku lagi, penuntut kasasi seharusnya dilepaskan
dari tuduhan;
Tidak dapat dibenarkan, karena
dalam hal ini tidaklah terjadi perubahan perundang-undangan dalam arti pasal 1
ayat 2 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
19-9-1964 No. K/Kr/1964.
Dalam Perkara : Oei Gwan Tjay.
13. I.2. Perubahan dalam
perundang-undangan.
Dengan dikeluarkannya P.P. No.
20/1963 norma-norma yang terkandung dalam prijsbeheerschingsordonnantie 1948
tidaklah berubah sehingga tidaklah terjadi perubahan perundang-undangan dalam
arti pasal 1 ayat 2 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
1-9-1964 No. 114 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : A. Riduan bin
Haji Abdullah.
14. I.4. Pengertian “pegawai negeri “
Pasal 92 K.U.H.P. tidak memberi
penafsiran mengenai siapakah yang harus dianggap sebagai pegawai negeri, tetapi
memperluas arti pegawai negeri sedangkan menurut pendapat Mahkamah Agung yang
merupakan pegawai negeri ialah setiap orang yang diangkat oleh Penguasa yang
dibebani dengan jabatan Umum untuk melaksanakan sebagian dari tugas Negara atau
bagian-bagiannya;
i.c. terdakwa diangkat Menteri
Keuangan RI. dalam jabatan Direktur Percetakan R.I. Yogyakarta.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
1-12-1962 No. 81 K/Kr/1962.
Dalam Perkara : R. Moetomo
Notowidigdo.
15. I.4. Istilah “kekuasaan negara”.
Menurut pasal 1 R.I.B.,
Kepolisian termasuk kekuasaan negara yang dimaksudkan dalam pasal 207 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
23-1-1956 No. 37 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Achmad Muhamad
bin Yakub.
16. I.4. Istilah “Inlands gebruiksrecht”.
Hak “grant” Sumatera Timur
termasuk “Inlands gebruiksrecht” dalam pasal 385 K.U.H.P..
Putusan Mahkamah Agung tgl.
7-8-1956 No. 58 K/Kr/1953.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr.
Wirjono Prodjodikoro, 2. Mr. Sutan Kali Malikul Adil, 3. Mr. R. Soerjotjokro.
17. I.4. Istilah “vervoermiddel” dalam pasal
9 R.O.
Berdasarkan pasal 9 Rechten
Ordonantie Jawatan Bea dan Cukai berwenang untuk melakukan penyegelan atas kran
pipa tersebut, karena pada hakekatnya pipa itu berfungsi memindahkan minyak
dari satu tempat ketempat yang lain sehingga fungsinya dapat disamakan dengan
alat pengangkut (vervoemiddel) seperti yang dimaksudkan dalam pasal 9 R.O.
tersebut.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
31-12-1973 No. 35 K/Kr/1972.
Dalam Perkara : H.Y. Kalesaran;
Djamalus.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
R. Subekti S.H., 2. D.H. Lumbanradja S.H., 3. S.H. Sri Widojati Wiratmo
Soekito S.H.
18. I.5. Berlakunya undang-undang.
Keberatan yang diajukan oleh
penuntut-kasasi bahwa ia tidak tahu akan adanya undang-undang yang melarang membeli
atau memperoleh uang perak, tidak dapat diterima, karena tiap-tiap orang
dianggap mengetahui undang-undang setelah undang-undang itu diundangkan dalam
Lembaran Negara.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
14-11-1961 No. 77 K/Kr/1961.
Dalam Perkara : M. Sabirin Biran.
19. I.5. Berlakunya undang-undang.
Berdasarkan pasal 100 (2)
Undang-undang Dasar Sementara R.I. pengundangan terjadi dalam bentuk menurut
undang-undang adalah syarat tunggal untuk kekuatan mengikat, maka berlakunya
undang-undang tidak tergantung dari hal apakah isi undang-undang itu sudah atau
belum diketahui oleh yang bersangkutan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
22-5-1955 No. 77/Kr/1953.
Dalam Perkara : Haji Iljas.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr.
R. Wirjono Prodjodikoro, 2. Mr. R. Soekardana, 3. R. Ranoe Atmadja.
20. I.5. Hutang-piutang dan hukum pidana.
Sengketa tentang hutang-piutang
merupakan sengketa perdata.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
11-3-1970 No. 93 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Abdul Gapoer.
dengan Susunan Majelis :1. Prof.
R. Subekti S.H., 2. lndroharto S.H., 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
21. I.5. Perkara pidana dan sengketa
perdata.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi
yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Karena perkara ini mengenai
perselisihan tentang letaknya bagian masingmasing ahli waris atas tanah
warisan, perkara ini merupakan sengketa perdata yang harus diselesaikan
menurut acara perdata pula; maka perbuatan yang dituduhkan pada tertuduh bukan
merupakan kejahatan ataupun pelanggaran dan karenanya mereka harus dilepaskan
dari segala tuntutan hukum
Putusan Mahkamah Agung tgl.
14-7-1976 No. 110 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : Sahat bin
Dipokarto.
dengan Susunan Majelis : 1. Palti
Radja Siregar S.H., 2. Purwosunu S.H., 3. Bustanul Arifin S.H.
22. I.5.Amnesti dan abolisi
Keberatan yang diajukan penuntut
kasasi : - bahwa karena penuntut kasasi dalam tahun 1961 telah melaporkan diri
kepada Pemerintah sehingga kepadanya harus diterapkan keputusan Presiden
rnengenai amnesti dan abolisi,
Tidak dapat dibenarkan: - karena
menurut hasil pemeriksaan dia diperkara dalam tahun 1958 dan diputus dalam
tahun 1959, jadi sebelum adanya keputusan Presiden mengenai amnesti, sehingga
hal tersebut tidak dapat diajukan sebagai alasan dalam pemeriksaan tingkat
kasasi.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
29-4-1967 No. 122 K/Kr/1966.
Dalam Perkara : Ui Gem alias Ui
Kem Siong.
Susunan Majelis :1. Surjadi S.H.,
2. Subekti S.H., 3. M. Abdurrachman S.H.
TENTANG PIDANA
23. II.1. Jenis pidana.
Menambah jenis hukuman yang
ditetapkan dalam pasal 10 K.U.H.P. tidak dibenarkan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
11-3-1970 No. 59 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : N. Berman Bangun.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
R. Subekti S.H., 2. Prof. Sardjono S.H., 3. Indroharto S.H.
24. II.1. Jenis pidana.
Pengadilan Negri sebagai Hakim
Pidana tidak berwenang rnenjatuhkan putusan yang lain dari pada yang ditentukan
dalam pasal 10 K.U.H.P. sepertinya putusan yang tersebut dalam dictum ke 3
yaitu :
“Menghukum lagi Tertuduh untuk
rneninggalkan tanah/sawah terperkara naina Djum/sawah Laukeibo guna pakai oleh
saksi Pengadu”.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
26-9-1970 No. 74 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Bangsa Ginting.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
R Subekti S.H., 2. Indroharto S.H., 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
25. II.1. Jenis pidana.
Dalam menjatuhkan hukuman
bersyarat, Hakim dapat menetapkan sebagai syarat bahwa terdakwa harus mengganti
kerugian yang disebabkan karena tindak pidana yang telah dilakukannya.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
9-5-1963.
Dalam Perkara : Ie Dwan Tjio.
26. II.1. Jenis pidana.
dalam perkara pidana Pengadilan
tidak dapat menjatuhkan hukuman yang isinya : - Menghukum terdakwa untuk
meninggalkan tanah terperkara.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
10-5-1972 No. 11 K/Kr/1971.
Dalam Perkara : Suwe Karo2;
Djedamin Karo2;
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
Sardjono S.H., 2. lndroharto S.H., 3. Sri Widoyati Wiratmo Sukito S.H.
27. II.1. Jenis pidana.
Hukuman tambahan yang dijatuhkan
oleh Pengadilan Negeri: “Menghukum atas tertuduh-tertuduh untuk meninggalkan
hutan yang digarap guna dihijaukan kembali” dan “Menghukum lagi atas
tertuduh-tertuduh untuk membayar kerugian Negara masing-masing besarnya 1/29 x
Rp. 1.485.700,-” harus dibatalkan karena bertentangan dengan pasal 10 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
13-8-1974 No. 61 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Terima Pinem dkk
(29 orang).
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
Oemar Seno Adji S.H., 2. Hendrotomo S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
28. II.1. Jenis pidana.
Hakim Pidana tidak berwemang
menetapkan ganti rugi.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
6-6-1970 No. 54 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Selamet
Sembiring.
dengan Susunan Majelis :1. Prof.
Subekti S.H., 2. D.H.Lumbanradja S.H., 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
29. II.1. Jenis pidana.
Hukuman percobaan hanya dapat
diberikan dalam hal dijatuhkan hukuman penjara tidak lebih dari satu tahun.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
17-10-1970 No. 52 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : Djai bin Murta.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
R. Subekti S.H., 2. Sri Widoyati Wiratmo Sukito S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
30. II.1. Jenis pidana.
Keberatan yang diajukan oleh
penuntut kasasi : - bahwa Pengadilan dengan ponis pidana menentukan siapa yang
berhak atas tanah tersebut, sedang hal ini adalah wewenang Hakim Perdata; bahwa
disini Hakirn Pidana telah keliru menafsirkan hukuman tambahan yang dimaksudkan
oleh pasal 14 K.U.H.P.
Tidak dapat diterima, karena
ketentuan yang dimaksudkan itu adalah bukan hukuman tambahan, tetapi hukuman
bersyarat dengan syarat khusus Sesuai dengan pasal 14 c. K.U.H.P.
(Penuntut kasasi oleh Pengadilan
Negeri dijatuhi hukuman bersyarat dengan syarat khusus : - tertuduh harus
mengembalikan tanah tersebut kepada saksi);
Putusan Mahkamah Agung tgl.
25-2-1975 No. 66 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Ludin Gultom;
Rudolf Sianturi.
dengan Susunan Majelis : 1.
Hendrotomo S.H., 2. Purwosumu S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
31. II.1. Jenis pidana.
Bahwa dalam Pen. Pres. No. 5
tahun 1959 tidak disebutkan hukuman denda, tidaklah berarti bahwa penambahan
hukuman badan dengan hukuman denda tidak diperkenankan lagi, karena Pen. Pres.
tersebut hanya bermaksud mempertinggi ancaman hukuman badan bagi semua tindak
pidana ekonomi yang menghalangi program Pemerintah.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
12-6-1964 No. 193 K/Kr/1964.
Dalam Perkara :1. Gouw Wie Goan,
II. Jo Kiem Seng.
32. II.1. Jenis pidana.
Dalam pasal 6 b Undang-undang
Darurat No. 7/1955 dicantumkan dengan tegas bahwa hukuman dapat berupa hukuman
penjara dan hukuman denda atau salah satu dari dua macam hukuman tersebut.
(i.c. PengadilanTinggi menjatuhkan hukuman penjara).
Putusan Mahkamah Agung tgl.
7-8-1971 No. 111 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : Bachsan Kaharudin
Lubis.
dengan Susunan Majelis :1. Prof.
R. Subekti Si!., 2. Sri Widoyati Wiratino Sukito S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
33. II.1. Jenis pidana.
Mobil yang dibeli oleh pemohon
kasasi dengan sejumlah uang yang diterimanya sebagai hasil dari tindak pidana
yang dipersalahkan padanya, dapat dikatakan diperoleh, meskipun secara tidak
langsung, dari kejahatan sebagai ditentukan dalam pasal 39 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
13-11-1962 No. 125 K/Kr/1960.
Dalam Perkara : Mr. Lim Wam Too.
34. II.3. Hukuman bersyarat.
Adalah tidak tepat bila lamanya
terdakwa berada dalam tahanan turut diperhitungkan dalam hukuman bersyarat.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
23-12-1970 No. 148 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Soejatmo Winoto
Bagoes Doekoeh.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
R. Subekti S.H., 2. D.H. Lumbanradja S.H., 3. Indroharto S.H.
35. II.3. Pengurangan dengan masa tahanan
Pasal 32 dan 33 K.U.H.P. tidak
mewajibkan, tetapi hanya mewenangkan Pengadilan yang menjatuhkan hukuman
penjara kepada Terdakwa yang ditahan sementara untuk mengurangkan waktu tahanan
sementara itu dari hukuman.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
13-12-1960 No. 48 K/Kr/1960.
Dalam Perkara : Tambatua
Simbolon.
HAL-HAL YANG MENGHAPUSKAN,
MERINGANKAN, MEMBERATKAN PIDANA
36. III.1. Hal-hal yang menghapuskan
pidana.
Kekhilafan terdakwa mengenai
sifat melawan hukum dari pada perbuatannya tidaklah menghilangkan
pertanggungan jawab kepidanaannya.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
1-3-1958 No. 263 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Kristian alias
Ompu Sitorpa Marga Siagian.
37. III.1. Hal-hal yang menghapuskan
pidana.
Perbuatan penuntut kasasi
menembak mati si korban tidak dapat dianggap sebagai dilakukan demi pembelaan
termaksud dalam pasal 49 K.U.H.P. karena menurut Mahkamah Agung tidak ada
keseimbangan antara serangan yang dilakukan oleh si korban dengan perbuatan
penuntut kasasi.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
9-2-1959 No. 193 K/Kr/1958.
Dalam Perkara : Haji Hasjim bin
Haji Derahman.
38. III.1. Hal-hal yang menghapuskan
pidana.
Keberatan yang diajukan oleh
penuntut kasasi : - bahwa pelanggaran itu (mengangkut penumpang lebih dari
maximum) dikarenakan terpaksa dan terdorong oleh rasa pribadinya ya’ni ia
setelah mengangkut penumpang maximum yang terdiri dan orang-orang biasa Ia
membolehkan seorang anggota tentara naik, tentara mana toch tentara negerinya
yang ia kenal bertugas di daerah itu dan tentara itu juga tidak dipungut
bayaran.
Tidak dapat dibenarkan karena
keberatan tersebut bukanlah dorongan yang bersandar pada “rasa pribadi penuntut
kasasi” dan merupakan “paksaan” termaksud dalam pasal 48 K.U.H.P. sehingga
perbuatan penuntut kasasi tetap merupakan tindak pidana.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
30-5-1961 No. 121 K/Kr/1960.
Dalam Perkara : Sae’oen bin
Hoesen.
39. III.1. Hal-hal yang menghapuskan
pidana.
Suatu perintah dari Ketua
Pengadilan Negeri kepada Panitera mengenai hal yang terletak diluar lingkungan
pekerjaannya sebagai panitera, bukanlah perintah yang dimaksudkan dalam pasal
51 K.U.H.P. dan bagaimanapun juga penuntut kasasi sebagai Panitera adalah
satu-satunya yang bertanggung jawab atas penggunaan uang kas Pengadilan Negeri
tersebut.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
7-7-1964 No. 166 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Boerhanoedin
gelar Manah Soetan.
40. III.1. Hal-hal yang menghapuskan
pidana.
Perintah dari pimpinan R.M.S.
kepada terdakwa tidak merupakan suatu perintah jabatan yang dimaksudkan oleh
pasal 51 K.U.H.P. karena perintah menurut pasal ini harus diberikan oleh
pembesar yang berwenang untuk itu.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
9-2-1960 No. 181 K/Kr/1959.
Dalam Perkara : Marikin (Marthen)
Lukulima.
41. III.1. Hal-hal yang menghapuskan
pidana.
Keberatan yang diajukan penuntut
kasasi : - bahwa penuntut kasasi tidak merasa bersalah karena sebagai anggota
Hansip Ãa hanya rnelakukan perintah dari Pamong Desa;
Tidak dapat dibenarkan karena
perbuatan penganiayaan tidak tercakup dalam “perintah atasan”.
Dan keberatan yang diajukan
penuntut kasasi: - bahwa sebagai Kamituwo ia berwenang memerintahkan untuk
menjaga keamanan desa;
Tidak dapat diterima karena
wewenang dan tanggung jawab Kamituwo tidaklah meliputi kewenangan melakukan
perbuatan-perbuatan penganiayaan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
27-1-1971 No. 63 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : Moeslani dkk.
dengan susunan rnaielis : 1.
Prof. R. Subekti S.H., 2. Busthanul Arifin S.H., 3. Sri Widoyati Wiratmo Sukito
S.H.
42. III.1. Hal-hal yang menghapuskan
pidana.
Dalam “noodtoestand” harus
dilihat adanya :
1. Pertentangan antara dua
kepentingan hukum.
2. Pertentangan antara kepentingan
hukum dan kewajiban.
3. Pertentangan antara dua kewajiban
hukum.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
27-7-1969 No. 117 K/Kr/1968.
Dalam Perkara : Soetopo dan
Soetedjo.
dengan Susunan Majelis : 1. M.
Abdurrachman S.H., 2. Prof. Sardjono S.H., 3. D.H. Lumbanradja S.H.
43. III.1. Hal-hal yang menghapuskan
pidana.
Keberatan yang diajukan penuntut
kasasi :
Bahwa tidak akan terjadi
perbuatan pembacokan itu apabila saksi Ru’at tidak menyediakan diri untuk
dicoba (dibacok);
Tidak dapat diterima, karena ikut
bersalahnya orang lain dalam suatu tindak pidana tidak menyebabkan penuntut
kasasi bebas dari kesalahan terhadap tindak pidana tersebut.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
8-1-1975 No. 105 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : Hadji Umar Said
bin Rodiwongso.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
Umar Seno Adji S.H., 2. D.H. Lumbanradja S.H., 3. Hendrotomo S.H.
44. III.1. Hal-hal yang menghapuskan
pidana.
Pembunuhan yang dilakukan untuk
memenuhi hukum adat tidak merupakan hal yang membebaskan seperti yang dimaksud
dalam pasal 50 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
3-11-1971 No. 20 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : Masidin bin
Sumpai.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
R. Subekti S.H., 2. D.H. Lumbanradja S.H., 3. Z. Asiskin Kusumah Atmadja.
45. III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Kesanggupan penuntut kasasi untuk
membayar kembali uang yang dimaksudkan itu tidak menghilangkan sifat dapat
dihukum perbuatan yang telah dilakukannya.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
19-5-1959 No. 47 K/Kr/1959.
Dalam Perkara : R. Singgih
Prawirojudho.
46. III.1.Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Penyelesaian sengketa rnengenai
tanah yang bersangkutan pada tanggal 17 Januari 1957 tidak meniadakan tindak
pidana yang dilakukan para tertuduh pada bulan April 1956 dan yang telah
diadili pada tanggal 18 Desember 1956.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
8-12-1956 No. 178 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Kartodimedjo dkk.
47. III.1. Hal-hal yang menghapuskan
pidana.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi
yang dibenarkan Mahkamah Agung :
Bahwa tentang keadaan darurat
(noodtoestand) pada umumnya dapat disimpulkan bahwa Ãa adalah keadaan yang
merupakan salah satu bentuk dari pada “overmacht” yang umumnya didapati dalam
salah satu bentuk kejadian seperti berikut
1. Dalam hal adanya pertentangan antara dua
kepentingan hukum (bij botsing van wee rechtsbelangen).
2. Dalam hal adanya pertentangan antara
kepentingan hukum dan kewajiban hukum (bij botsing van een rechtsbelang en een rechtsplicht).
3. Dalam hal adanya pertentangan antara dua
kewajiban hukum (bij botsing van twee rechtsplichten).
Bahwa dalam perkara ini
Pengadilan Tinggi tidak rnelihat adanya cukup alasan untuk memasukkan perbuatan
terdakwa II dalam salah satu bentuk keadaan darurat tersebut, sedangkan
rnengenai terdakwa I dapat disimpulkan bahwa terdapat petunjuk bahwa terdakwa I
tidak semata-rnata bertindak karena “perintah jabatan” yang diberikan oleh
terdakwa II kepadanya, tetapi selain itu telah ada persetujuan antara keduanya
untuk melakukan perbuatan tersebut;
Bahwa oleh karena itu putusan
Pengadilan Negeri mengenai terdakwa I dan II (yang telah melepaskan terdakwa I
dan II dan segala tuntutan karena adanya “perintah jabatan” dan “overmacht”)
harus dibatalkan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
20-9-1967 No. 30 K/Kr/1967.
Dalam Perkara : 1. Sutomo bin
Hadi Kusumo, 2. D. Suseno.
dengan Susunan Majelis : 1.
Surjadi S.H., 2. Subekti S.H., 3. M. Abdurrachman S.H.
48. III.1. Hal-hal yang menghapuskan
pidana.
Keberatan yang diajukan penuntut
kasasi: - bahwa ia menggunakan pistolnya itu karena dalam kebingungan berhubung
kena lemparan batu; lagi pula bila ia dalam keadaan sadar tak mungkin ia hanya
mengenai pinggang korban ……….;
Tidak dapat dibenarkan karena hal
itu tidak akan dapat merupakan alasan yang menghilangkan sifat daripada tindak
pidana yang bersangkutan; (penuntut kasasi dipersalahkan atas kejahatan:
“penganiayaan”).
Putusan Mahkamah Agung tgl.
4-10-1967 No. 77 K/Kr/1965.
Dalam Perkara : Malim Kesuh Karo
Karo.
dengan Susunan Majelis :1.
Surjadi S.H., 2. Subekti S.H., 3. M. Abdurrachman S.H.
49. III.2. Hal-hal yang meringankan pidana.
Menurut pasal 45 K.U.H.P. Hakim
dapat menjatuhkan hukuman kepada anak yang belum berumur 16 tahun yang melakukan
suatu tindak pidana.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
25-2-1958 No. 324 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Kondrat Nadeak.
UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
50. IV.1.2.
Kealpaan - Kesengajaan.
Pasal 56 K.U.H.P. mensyaratkan
bahwa harus ada kesengajaan untuk membantu delik yang dituduhkan, sedangkan
kesimpulan bahwa tertuduh harus menduga atau mencurigai bahwa barang itu akan
dikeluarkan dari daerah pabean Indonesia; bersangkutan lebih dengan bentuk
culpa dari pada dengan bentuk dolus.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 25-1-1975
No. 25 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Drs.
Hadisapoetro.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
Oemar Seno Adji,S.H., 2. Kabul Arifin S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
51. IV.2. Kesengajaan.
Seseorang yang menggunakan
senjata tajam terhadap orang lain untuk membuktikan apakah orang itu benar
tidak mempan senjata tajam harus dapat mempertimbangkan (voorzien) bahwa
kemungkinan besar orang itu sebagai manusia biasa benar-benar akan terluka,
sehingga ia harus dianggap mempunyai niat (oogmerk) untuk melukai orang
tersebut.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
8-1-1975 No. 105 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : Hadji Umar Said
bin Rudiwongso.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
Umar Seno Adji S.H., 2. D.H. Lumbanradja S.H., 3. Hendrotomo S.H.
52. IV.2. Kesengajaan.
“Lalai tidak menyelidiki lebih
dulu” daftar yang akan ditanda tangani dalam perkara ini tidak merupakan
kesengajaan, sedang kesengajaan itu merupakan unsur utama dari pidana
penggelapan
Putusan Mahkamah Agung tgl.
4-2-1976 No. 58 K/Kr/1974
Dalam Perkara : Suprapto BA.
dengan Susunan Majelis :1.
Hendrotomo S.H., 2. Palti Radja Siregar S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.,
53. IV.3. Melawan hukum.
Dalam setiap tindak pidana selalu
ada unsur “sifat melawan hukum” dari perbuatan yang dituduhkan walaupun dalam
rumusan delik tidak selalu dicantumkan.
Walaupun rumusan delik penadahan
tidak mencantumkan unsur sifat melawan hukum, tetapi ini tidak berarti bahwa
perbuatan yang dituduhkan telah merupakan delik penadahan sekalipun sifat
melawan hukum tidak ada sama sekali.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
6-6-1970 No. 30 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Mohamad Mursjid
bin Dasu dan Mohamad Sjarif bin Haji Kehan.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
R. Subekti S.H., 2. Prof. Sardjono S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
54. IV.3. Melawan hukum
Meskipun yang dituduhkan adalah
suatu delik formil, namun Hakim secara rnaterieel harus memperhatikan juga
keadaan dari terdakwa atas dasar mana Ãa tak dapat dihukum (materieele
wederrechtelijkheid).
Putusan Mahkamah Agung tgl.
27-5-1972 No. 72 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : Mohamad Toha
Iljas dan Wilson Hutauruk.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
R.Sardjono S.H., 2. Busthanul Arifin S.H., 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
55. IV.3. Melawan hukum.
Pada umumnya suatu tindakan dapat
hilang sifatnya sebagai melawan hukum selain berdasarkan suatu ketentuan
perundang-undangan juga berdasarkan azas-azas hukum yang tidak tertulis dan
bersifat umum; sepertinya dalam perkara ini faktor negara tidak dirugikan,
kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
8-1-1966 No. 42 K/Kr/1965.
Dalam Perkara : Macroes Effendi.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr.
Wirjono Prodjodikoro S.H., 2. Prof. R. Subekti S.H., 3. Surjadi S.H.
56. IV.3. Melawan hukum.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi
yang dibenarkan Mahkamah Agung :
Bahwa mungkin saja Pemerintah
dalam rnelakukan kebijaksanaan ekonominya mengambil keputusan rnenciptakan
suatu sistim semacarn deterred payment (khusus) akan tetapi secara hukum (pidana)
yang bertanggung jawab mengenai hal-hal itu adalah tetap pihak yang secara
materiil telah melakukan tindakan-tindakan tersebut, in casu terdakwa.
Putusan Mahkamah Agung tgl. No.
15 K/Kr/l967.
Dalam Perkara : Teuku Jusuf Muda
Dalam.
dengan Susunan Majelis :1.
Surjadi S.H., 2. Subekti S.H., 3. M. Abdurrachman S.H.
57. IV.4. Kesalahan.
Keberatan yang diajukan pemohon
kasasi: bahwa ketidak hati-hatian saksi I sangat relevant atas terjadinya
kecelakaan ini;
Tidak dapat diterima karena
kesalahan pihak lain tidak berarti menghilangkan kesalahan terdakwa.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
19-5-1976 No. 54 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : Idris Gelar Sidi
Maradjo.
dengan Susunan Majelis : 1.
Purwosunu S.H., 2. Kabul Arifin S.H., 3. Hendrotomo S.H.
PERCOBAAN, PENYERTAAN, CONCURSUS
58. V.1. Percobaan.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi
yang dibenarkan Mahkamah Agung :
Bahwa ternyata merica putih,
merica hitam,. karet sheet dan kopi Arabica tersebut masih ada dalam gudang
P.T. Megah di Jalan Sekip no.9 A Medan; diantaranya telah dimasukkan kedalam
goni bercampur dengan kopi Robusta;
Bahwa dengan demikian, walaupun
tertuduh-tertuduh telah membuat surat instruksi kepada P.T. Lampong Veem untuk
rnengangkut kopi Robusta sesuai dengan izin ekspor code B.no. 12147, perbuatan
tertuduh-tertuduh baru berupa suatu perbuatan pendahuluan
(voorbereidingshandeling) dari percobaan mengekspor keluar Indonesia.
(Menurut Jaksa Agung, dengan
sudah adanya “shipping instruction”, meskipun belum ada penyerahan
dokumen-dokurnen kepada pabean, perbuatan tertuduh-tertuduh sudah merupakan
permulaan pelaksanaan (“begin van uitvoering”).
Putusan Mahkamah Agung tgl.
31-1-1968 No. 14 K/Kr/1967.
Dalam Perkara : 1. Merhat
Tarigan, 2. Lie Wie Giok, 3. Kho A Tjong dkk.
dengan Susunan Majelis : 1.
Surjadi S.H., 2. Subekti S.H., 3. M. Abdurrachman S.H.
59. V.2 Penyertaan.
Keberatan yang diajukan penuntut
kasasi : - bahwa dalam perkara ini pelaku utamanya tidak diadili;
Tidak dapat diterima, karena
untuk memeriksa perkara terdakwa Pengadilan tidak perlu rnenunggu diajukannya
terlebih dahulu pelaku utama dalam perkara itu.
(i.c. Terdakwa dipersalahkan atas
kejahatan “Sebagai Pegawai Negeri turut serta membujuk orang lain melakukan
penggelapan dalam jabatan”)
Putusan Mahkamah Agung tgl.
22-11-1969 No. 7 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : 1. Robinson
Pinem, 2. Dj. Damanik, 3. Pangulu Siahaan.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
R. Subekti S.H., 2. Prof. SardjonoS.H., 3. Z.A. Kusumah Atmadja S.H.
60. V.2. Penyertaan.
Perbuatan terdakwa II mengancam
dengan pistol tidak memenuhi semua unsur dalam pasal 339 K.U.H.P. terdakwa I
lah yang memukul si korban dengan sepotong besi yang mengakibatkan
rneninggalnya si korban.
Karena itu untuk terdakwa II
kwalifikasi yang tepat adalah turut melakukan tindak pidana (medeplegen)
sedangkan pembuat materiilnya ialah terdakwa I.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
26-6-1971 No. 15/K/Kr/1970.
Dalam Perkara : Uding alias
Saeful Bachri bin Haji Nuria.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
R. Sardjono S.H., 2. Indroharto S.H., 3. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
61. V.2. Penyertaan.
Keberatan yang diajukan dalam
memori kasasi : - bahwa kesalahan penuntut kasasi tidak terbukti karena kawan
pelaku pencuri telah meninggal dunia sehingga penuntut kasasi tidak dapat
dinyatakan sebagai “medepleger” dari orang mati;
Tidak dapat dibenarkan, karena
soal apakah terdakwa bersama orang lain melakukan tindak pidana yang
dituduhkan, harus disandarkan pada saat tindak pidana itu dilakukan dan apakah
hal termaksud di sidang dapat dibuktikan; bahwa kawan pesertanya kemudian
meninggal dunia tidak mempengaruhi hal tersebut.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
12-5-1959 No. 52 K/Kr/l959.
Dalam Perkara : Setoe alias
Sosetoe.
62. V.2. Penyertaan.
Menyuruh melakukan (doen plegen)”
suatu tindak pidana, menurut ilmu hukum pidana syaratnya adalah, bahwa orang
yang disuruh itu menurut hukum pidana tidak dapat dipertanggung jawabkan
terhadap perbuatannya sehingga oleh karenanya tidak dapat dihukum.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
1-12-1956 No. 137 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Djohan marga
Ginting Munthe; Anwar.
63. V.2
Penyertaan.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi
yang dibenarkan Mahkamah Agung :
Untuk tertuduh IV sebutan
“memalsukan surat” lebih tepat diganti dengan istilah “memancing pembuatan
surat palsu” karena karya tertuduh IV dalam perkara ini ialah memberi
keterangan-keterangan atau bahan kepada tertuduh-tertuduh lainnya untuk membuat
surat palsu tersebut.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
11-9-1968 No. 114 K/Kr/1967.
Dalam Perkara : 1. Sinaga
Siregar, 2. Partoanan Harahap, 3. Sjafwi Datuk Penghulu Hakim, 4. Go Jouw
Chong.
dengan Susunan Majelis : 1. M.
Abdurrachman S.H.; 2. Sardjono S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
64. V.4. Gabungan tindak-tindak pidana.
Dalam hal gabungan tindak pidana
mengenai beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh seorang terdakwa dan diadili
sekaligus, menurut pasal 70 K.U.H.P. untuk tiap pelanggaran harus diberi
hukuman tersendiri.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
11-1-1960 No. 26 K/Kr/1958.
Dalam Perkara : Achmad Tohir.
65. V.4. Gabungan pelanggaran dan
kejahatan.
Dalam hal ada gabungan
pelanggaran dan kejahatan maka untuk tiap pelanggaran dijatuhkan hukuman dengan
tidak dikurangi.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
29-5-1962 No. 178 K/Kr/1962.
Dalam Perkara : Liem Swan Than.
66. V.4. Perbuatan lanjutan.
Penghinaan-penghinaan ringan yang
dilakukan terhadap 5 orang pada hari-hari yang berlainan tidak mungkin berdasar
satu keputusan kehendak (wilsbesluit), maka tidak dapat dipandang sebagai satu
perbuatan dan tidak dapat atas kesemua perkaranya diberikan satu putusan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
5-3-1963 No. 162 K/Kr/1962.
Dalam Perkara : Ny. Etty Achmad
Sanubari.
67. V.4. Perbuatan Ianjutan.
Soal perbuatan
lanjutan(”voortgezette handeling”) hanya mengenai soal penjatuhan hukuman
(straftoemeting) dan tidak mengenai pembebasan dari tuntutan;
Maka keberatan yang diajukan
penuntut kasasi, bahwa perbuatan yang dituduhkan kepadanya Dalam Perkara ini
(perkara tanah G.G. di desa Sedati) merupakan suatu perbuatan lanjutan
(“voortgezette handeling”) dengan perbuatannya dalam perkara tanah G.G. di desa
Tambak Cemadi, sedang untuk itu ia telah dijatuhi hukuman oleh Pengadilan
Negeri Sidoardjo tanggal 6 Maret 1962, tidak dapat dibenarkan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
28-4-1964 No. 156 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : M. Supardiman.
68. V.4. Omissie-delict.
Perbuatan yang dituduhkan pada
penuntut kasasi, ialah tidak melaporkan pendirian perusahaan kepada Jawatan
Perburuhan, merupakan suatu omissie-delict yang berlaku terus menerus dan dapat
dituntut setiap waktu, sedang daluwarsa hanya bisa terjadi setelah ia berhenti
sebagai Notaris.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
24-8-1965 No. 173 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Anwar Mahajudin.
69. V.4. Delik aduan.
Keberatan yang diajukan pemohon
kasasi bahwa perkara ini termasuk “delik aduan yang absolut” maka harus ada
pengaduan dari yang terhina dan dalam surat pengaduan harus ada kata-kata
permintaan agar peristiwa itu dituntut.
Tidak dapat diterima, karena
klachtdelict tidak terikat pada bentuk yang tertentu (vormvrij).
Putusan Mahkamah Agung tgl.
3-2-1972 No. 76 K/Kr/1969.
Dalam Perkara :1. Baharmin
Harefa, 2. Muhamad Nasir Hidayat Harefa.,
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
Soebekti S.H., 2. Sri Widojati Soekito S.H., 3. Z.A. Kusumah Atmadja S.H.
70. V.4. Tempo mengajukan delik aduan.
Dalam delik aduan, tempo yang dimaksud
dalam pasal 74 ayat 1 K.U.H.P. dihitung sejak yang berhak mengadu mengetahui
perbuatan yang dilakukan, bukan sejak Ãa mengetahui benar /tidaknya perbuatan
yang dilakukan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
15-2-1969 No. 57 K/Kr/1968.
Dalam Perkara : Kang Lip Tang.
dengan Susunan Majelis : 1. M.
Abdurrachman S.H., 2. Prof. R.Sardjono S.H., 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
HAPUSNYA KEWENANGAN MENUNTUT DAN MENJALANKAN PIDANA
71. VI.1. Gugurnya hak untuk menuntut
hukuman.
Karena ternyata tertuduh/penuntut
kasasi telah meninggal dunia, oleh Mahkamah Agung diputuskan Menyatakan gugur
hak tuntutan hukum terhadap perbuatan-perbuatan yang dituduhkan penuntut
kasasi.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 30 –
9 -1975 No. 18 K/Kr/1975.
Dalam Perkara :1. Thomas
Lamadlauw, II. Bos Katili. III. Junus Hamid. dkk.
Dengan Susunan Majelis : 1.
Purwosunu S.H., 2. Kabul Arifin S.H., 3. Palti Radja Siregar S.H.
72. VI.1. Hapusnya kewenangan penuntutan
pidana.
Menurut pasal 78 ayat 1 sub 2
K.U.H.P., perkara “penghinaan ringan” adalah suatu kejahatan dan dengan
demikian baru kedaluwarsa setelah lewat waktu enam tahun.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
1-2-1958 No. 269 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Soetomo.
73. VI.1. Hapusnya kewenangan penuntutan
pidana.
Keberatan yang dajukan penuntut
kasasi bahwa Pengadilan Tinggi tidak mempertimbangkan bahwa penuntut kasasi
dengan saksi telah mengadakan perdamaian dengan jalan mengganti kerugian saksi,
dan setelah perdamaian saksi tidak lagi menuntut penuntut kasasi;
Tidak dapat diterima, karena
perdamaian tidak dapat menghapuskan penuntutan atas suatu perkara dan delik ini
bukan delik aduan sehingga pengaduan dari saksi tidak diperlukan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
20-9-1972 No. 97 K/Kr/1971.
Dalam Perkara : Riduan
Dalimunthe.
Dengan Susunan Majelis :1. Prof.
Sardjono S.H., 2. Busthanul Arifin S.H., 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H.
74. VI.1. Hapusnya kewenangan penuntutan
pidana.
Karena hak untuk menuntut hukuman
gugur, permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa yang tertuduhnya meninggal
dunia, harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
19-11-1974 No. 29 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Tengku Muhamad
Ali Pijeng.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
Oemar Seno Adji A.H., 2. Palti Radja Siregar S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
TINDAK PIDANA TERHADAP NEGARA
75. VII.5. Tindak pidana terhadap Kepala
Negara.
Keberatan yang diajukan penuntut
kasasi: - bahwa fakta “dimuka umum” tidak terdapat dalam perkara ini.
Tidak dapat dibenarkan : - karena
pernyataan seperti halnya Dalam Perkara ini, tidak perlu dinyatakan dirnuka
umum.
(penuntut kasasi telah
dipersalahkan atas kejahatan : - “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden”).
Putusan Mahkamah Agung tgl.
28-12-1965 No. 26 K/Kr/1965.
Dalam Perkara : Tupak.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr.
Wirjono Prodjodikoro S.H., 2. Sutan Abdul Hakim S.H., 3. M. Abdurrachman S.H.
TINDAK PIDANA YANG MEMBAHAYAKAN
KETERTIBAN UMUM
76. VIII.3. Tindakan-tindakan yang membahayakan
jiwa orang.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi
yang dibenarkan Mahkamah Agung
“Openlijk” dalam naskah asli
pasal 170 Wetboek van Strafrecht lebih tepat diterjemahkan “secara
terang-terangan”, istilah mana mempunyai arti yang berlainan dengan “openbaar”
atau “dimuka umum”.
“Secara terangan-terangan”
berarti tidak secara bersembunyi jadi tidak perlu “dimuka umum”, cukup apabila
tidak diperdulikan apa ada kemungkinan orang lain dapat rnelihatnya.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
17-3-1976 No. 10 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : 1. Fausi bin
Abdullah; 2. Achmad Rozali; 3. Idris bin Ismail; 4. Ansoti bin Abd. Rachman.
dengan Susunan Majelis 1.
Hendrotomo S.H., 2. Purwosunu SH., 3. Palti Radja Siregar S.H.
77. VIII .9. Penghinaan terhadap suatu
golongan penduduk Indonesia.
Keberatan yang diajukan dalam
memori kasasi; - bahwa ia tidak dapat dipersalahkan atas pasal 156 K.U.H.P.
karena para guru sekolah Pesantren dan para anggauta pengurus langgar di kampung
Kepugeran tidak merupakan “groep van bevolking”.
Tidak dapat dibenarkan karena
para guru dan pangurus langgar tersebut adalah penganut Agama Islam semuanya,
yang dapat dikatakan merupakan suatu golongan penduduk berdasar atas Agama yang
dipeluknya.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
20-11-1962 No. 86 K/Kr/1962.
Dalam Perkara : Subrata
sebenarnya Sastrasubrata bin Sumarta.
78. VIII.9. Penghinaan terhadap suatu
golongan penduduk.
Mengingat Golkar telah diberikan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu oleh Undang-undang Pemilihan Umum dan
Peraturan-peraturan pelaksanaannya, Golkar bergerak dalam kehidupan ketata
negaraan kita, sehingga dapatlah Golkar disamakan dengan golongan penduduk
dalam arti pasal 156 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
17-10-1973 No. 99 K/Kr/1971.
Dalam Perkara : Subli bin Haji
Dardjat.
dengan susunan majeIis: 1. Prof.
Subekti S.H., 2. Busthanul Arifin S.H., 3. Indroharto S.H.
79. VIII.9. Pawai tanpa izin.
Berlakunya pasal 510 K.U.H.P.
tidak tergantung pada keadaan Staat van Oorlog en Beleg:
Untuk mengadakan pawai di jalan
umum diperlukan izin dari yang berwajib dan tidak cukup dengan pemberitahuan
saja kepada Polisi.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
25-1-1957 No. 73 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Soenarno.
TINDAK PIDANA TERHADAP ALAT
NEGARA/PENGUASA
80. IX.1. Penyuapan.
Tidaklah menjadl persoalan apakah
niat penuntut kasasi tercapai atau tidak akan tetapi cukuplah bahwa penuntut
kasasi bermaksud dengan pemberiannya memperoleh pelayanan yang berlawanan
dengan kewajiban saksi Sebagai pegawai negeri.
Lagi pula pemberian itu tidak
perlu diadakan diwaktu pegawai yang bersangkutan melakukan dinasnya, melainkan
dapat juga diadakan di rumah sebagai kenalan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
3-8-1963 No. 39 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Ting An Bing.
81. IX.1. Penyuapan.
Pasal 209 K.U.H.P. tidak
mensyaratkan bahwa pemberian itu diterima dan maksud dari pada pasal 209
K.U.H.P. ialah untuk menetapkan sebagai suatu kejahatan tersendiri suatu
percobaan yang dapat dihukum untuk menyuap.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
22-6-1956 No. 145 K/Kr/1955.
Dalam Perkara : Tan Su Lam.
82. IX.5. Penghasutan.
Tulisan-tulisan yang rnenguraikan
cara-cara rnemperjuangkan sesuatu melalui Pengadilan Negeri dengan bantuan
advocaat (i.c. supaya rakyat petani dapat kembali menduduki dan menguasai
tanahnya masing-masing), yang merupakan penjelasan dari pokok-pokok yang
diperjuangkan, bukanlah merupakan hasutan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
1-8-1973 No. 92 K/Kr/1971.
Dalam Perkara : Muslim Siregar.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
R. Subekti S.H., 2. D.H. Lumbanradja S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
83. IX.5. Pernyataan perasaan-perasaan yang
memenuhi, membenci, atau menghina Pemerintah.
Pasal 18, 19 Undang-undang Dasar
Sementara menjamin kebebasan
mempunyai dan rnengeluarkan pendapat, akan tetapi dengan sendirinya
asal didalam mengeluarkan pendapat itu orang tidak melanggar undang-undang;
maka pasal 18, 19 Undang-undang Dasar Sementara berlaku bersama-sama dengan
pasal 154 K.U.H.P.; lagi pula berdasarkan pasal 95 Undang-undang Dasar
Sementara, undang-undang tidak boleh diganggu gugat.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
23-1-1956 No. 52 K/Kr/1955.
84. IX.5.
Pernyataan perasaan-perasaan yang memusuhi, membenci atau menghina Pemerintah.
Keberatan yang diajukan oleh
penuntut kasasi : - bahwa pengecoran uang logam tersebut tidak membawa cemar
Negara R.I. dan tidak bermaksud
menyerang nama baik/kehormatan Pemerintah R.I.; dan oleh karena uang
logam tersebut, sudah tidak digunakan lagi sebagai alat pembayaran;
Dapat diterima, karena Sejajar
dengan pendapat Mahkamah Agung dalam perkara No. 27 K/Kr/1956 yang antara lain
menyatakan bahwa ucapan seseorang bahwa wang Indonesia bagi orang tersebut
adalah sebagai sampah saja, oleh Mahkamah Agung dipertimbangkan sebagai tidak
mengandung perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pernerintah
Indonesia, maka dalam perkara ini perbuatan mengecor uang logam Republik
Indonesia berupa wang 1/10, ¼ dan ½ rupiah dan dijadikan alat-alat onderdiil
mobil, menurut pendapat Mahkamah Agung juga tidak mengandung perasaan
permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia. Dengan
demikian perbuatan mengecor uang logam dalam perkara ini bukan merupakan
kejahatan maupun pelanggaran.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
17-3-1976 No. 3 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : Kho Tjin Lien.
dengan Susunan Majelis 1.
Hendrotomo S.H., 2. R. Purwoto S. Ganda Subroto S.H., 3. Purwosunu S.H.
85. IX.5. Penghinaan terhadap penguasa.
Hakim dan Jaksa termasuk dalam
pengertian kekuasaan yang ada dalam Negara Republik Indonesia termaksud dalam
pasal 207 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
1-9-1964 No. 10 K/Kr/1964.
Dalam Perkara : Gandut bin Djang
Alang.
86. IX.5. Penghinaan terhadap penguasa.
Menurut pasal 142 U.U.D.S. segala
peraturan undang-undang yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap
berlaku sebagai peraturan Republik Indonesia selama tidak dicabut oleh
undang-undang atas kuasa Undang-undang Dasar tersebut dan karena sampai
sekarang pasal 2G7 K.U.H.P. belum dicabut, maka masih berlakulah pasal itu;
karena Undang-undang No. 1 tahun 1946 menurut pasal 17 berlaku untuk Jawa dan
Madura, maka pasal 207 K.U.H.P. menurut pasal 8 No 38 undang-undang tersebut
juga telah diubah.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
21-11-1958 No. 160 K/Kr/1958.
87. IX.5. Penghinaan terhadap penguasa.
Kata-kata terdakwa “kalau
demikian halnya, Pemerintah Daerah menyeleweng, Pemerintah Daerah memberontak
dan kejam” oleh Pengadilan Tinggi telah secara tepat dianggap mempunyai unsur
kesengajaan menghina.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
23-4-1963 No. K/Kr/1963.
Dalam Perkara: MS.Wacbidin
Basjarahil alias H.Moechsin Wachidin.
88. IX.5. Penghinaan kepada badan kekuasaan
negara.
Penghinaan secara pribadi kepada
pegawai negeri waktu sedang menjalankan jabatan dengan syah adalah merupakan
penghinaan kepada suatu badan kekuasaan negara.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
11-3-1970 No. 121 K/Kr/1968.
Dalam Perkara : Thomas Abraham
Sugeba.
dengan Susunan Majelis :1. Prof.
R.Subekti S.H., 2, D.H.Lumbanradja SH. 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
TINDAK PIDANA PEMALSUAN
89. X.1. Sumpah palsu.
Kewajiban yang dibebankan kepada
Hakim oleh pasal 283 H.I.R. tidak merupakan unsur dari tindak pidana yang
dimaksudkan oleh pasal 242 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
10-7-1962 No. 189 K/Kr/1961.
Dalam Perkara : Kasan Mimbar.
90. X.4. Surat palsu.
Yang dimaksudkan dengan “menyuruh membuat palsu” dalam pasal 263 K.U.H.P. ialah menyuruh membuat surat yang isinya bertentangan dengan kebenaran.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
28-4-1964 No. 134/Kr/1963.
Dalam Perkara : Raden Soedarno;
91. X.4. Surat palsu.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi
yang dibenarkan Mahkamah Agung;
Sebutan “memalsukan surat” adalah
kurang tepat; yang lebih tepat ialah : “membuat surat palsu”.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
11-9-1968 No. 114 K/Kr/1967.
Dalam Perkara : 1. Singa Siregar,
2. Partoanan Harahap, 3. Sjafwi Datuk Penghulu Hakim, 4. Go Jouw Chong.
dengan Susunan Majelis 1. M.
Abdurrachman S.H., 2. Sardjono SH. 3. Busthanul Arifin S.H.
92. X.4. Pemalsuan surat.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi
yang dibenarkan Mahkamah Agung :
Mengisi blanco kwitansi tidak
mempunyai unsur melawan hukum sepanjang pengisiannya tidak bertentangan dengan
maksud dari penandatangan untuk apa kwitansi itu ditanda tanganinya.
i.c. tertuduh dipersalahkan melakukan
“pemalsuan surat”, karena ia telah mengisi kwitansi yang bersangkutan dengan
kata-kata “persekot dari harga rumah Jalan Botelempangan No. 14”, padahal
terbukti antara tertuduh dan penanda tangan kwitansi hanya ada perjanjian
pinjam meminjam uang Rp. 100.000,-
Putusan Mahkamah Agung tgl.
5-6-1975 No. 40 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Abdul Hafid
Tumpa.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
Umar Seno Adji S.H., 2. Hendrotomo S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
93. X.4. Pemalsuan surat.
Karena pasal 263 K.U.H.P.
merumuskan “dapat mendatangkan kerugian pada orang lain” maka kerugian tidak
perlu nyata-nyata ada.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
15-5-1975 No. 88 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Soeharto bin H.
Noerhadi.
dengan Susunan Majelis : 1. Palti
R. Siregar S.H., 2. Hendrotomo S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
94. X.4. Pemalsuan surat.
Kerugian yang mungkin ditimbulkan
oleh pemalsuan surat berdasarkan pasal 263 K.U.H.P. tidak harus berupa kerugian
materiil, dapat juga berupa kerugian terhadap kepentingan masyarakat sepertinya
dalam hal penggunaan surat yang dipalsukan itu dapat menyulitkan pengusutan
suatu perkara.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
29-5-1965 No. 10 K/Kr/1965.
Dalam Perkara : Teuku Abdul Said.
95. X.4. Pemalsuan surat.
Bahwa surat dibuat atas
permintaan yang berkepentingan dengan penuh kepercayaan terhadap pemakainya,
tidaklah menghilangkan sifat perbuatan itu scbagai pembuatan surat palsu
termasuk dalam pasal 263 K.U.H.P. atau membebaskan pernbuatnya dari kesalahan
atau penghukuman.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
29-5-1965 No. 10 K/Kr/1965.
Dalam Perkara : Teuku Abdul Said.
96. X.4. Pemalsuan surat.
Menurut pasal 263 K.U.H.P. juga
dapat dihukum membuat surat yang diperuntukan bagi pembuktian suatu hal;
seperti Dalam Perkara ini, membuat surat guna pembuktian bahwa 10 orang guru
sejak 1 Januari 1953 disamping tugasnya pada pagi hari juga memberi pelajaran
pada waktu petang hari di sekolah rakyat dan masing-masing berhak menerima
honorarium Rp.250,- tiap-tiap bulan; pada hal 10 orang guru tersebut tidak
memberikan pelajaran pada waktu petang hari dan juga tidak pernah mendapat
perintah semacam itu dari terdakwa.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
7-5-1958 No. 194 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Soekiran alias
Dibjosoemartojo.
97. X.4. Pemalsuan surat.
Dalam hal pemalsuan surat izin
perumahan, yang dapat dirugikan adalah yang mempunyai izin yang syah dan semua
orang yang mungkin dapat rnenempati rumah itu dengan mernpergunakan prosedur
yang normal.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 7 - 1
- 1964 No. 129 K/Kr/1963.
Dalam Perkara: Tjhay Touw Siong.
98. X.4. Pemalsuan surat.
Keberatan yang yang diajukan
penuntut kasai : bahwa apa yang dilakukannya tidak merugikan Negara dan juga
tidak menguntungkan dia sendiri.
Tidak dapat diterima karena
hal-hal tersebut tidak merupakan unsur dari tindak pidana yang dipersalahkan
kepadanya (pasal 269 ayat 1 K.U.H.P.).
Putusan Mahkamah Agung tgl. 31 -
3 - 1971 No. 74 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : A. Rachman al
Amantjik bin M. idris.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
R. Subekti S.H.; 2. Busthanul Arifin S.H.; 3. Indroharto S.H.
99. X.4. Pemalsuan surat.
Keberatan yang diajukan oleh
penuntut kasasi bahwa surat resep tidak rnenimbulkan hak sehingga tidak
termasuk dalam pasal 263 K.U.H.P.;
Tidak dapat dibenarkan, karena
sebuah resep memanglah menimbulkan hak untuk membeli chat-chat yang tercantum
dalam resep yang bersangkutan, sehingga harus dianggap sebagai suatu surat
bukti dalam arti kata menurut pasal 263 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgi. 6 - 5
- 1967 No. 146 K/Kr/1966.
Dalam Perkara: R. Tumenggung
Soehadi Prijonegoro.
dengan Susunan Majelis : 1.
Surjadi S.H.; 2. Subekti S.H.; 3. M. Abdurrachman S.H.
100. X.4. Pemalsuan surat.
Keberatan yang diajukan penuntut
kasasi: - bahwa dia tidak termaksud untuk melakukan kejahatan seperti dimaksud
dalam pasal 263 K.U.H.P. karena terjadinya jual beli itu tidak menguntungkan
dirinya sesenpun.
Tidak dapat dibenarkan karena hal
itu bukan merupakan syarat “pemalsuan surat” menurut pasal 263 K.U.H.P.
melainkan cukuplah, bahwa perbuatan pemalsuan yang bersangkutan dapat
menimbulkan suatu kerugian.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 15 -
11 - 1967 No. 62 K/Kr/1967.
Dalam Perkara: Bahrunsyah,
Muhamad Zein bin Udin.
dengan Susunan Majelis : 1.
Surjadi S.H.; 2. Subekti S.H.; 3. M. Abdurrachman S.H.
TINDAK PIDANA TERHADAP KESUSILAAN
101. XI.1. Perzinahan.
Pasal 284 K.U.H.P. merupakan
“absoluut klachtdelict” sehingga pengaduan terhadap Ielaki yang melakukan
perzinahan merupakan juga pengaduan terhadap isteri yang berzinah, sedang Jaksa
berwenang untuk atas azas opportuniteit hanya mengadakan penuntutan terhadap
salah seorang dari mereka.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 19 -
3 - 1955 No. 52 K/Kr/1953.
Dalam Perkara : Harangan
SiIalahi.
dengan Susunan Majelis: 1. Mr.
R.S. kartanegara; 2. Mr. R. Soerjotjokro; 3. Mr. Sutan Abdul Hakim.
102. XI.3. Pornografi.
Kejahatan yang dimaksudkan oleh
pasal 282 K.U.H.P. tidak mengandung unsur “melanggar kesusilaan”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9-2 -
1959 No. 203 K/Kr/1958.
Dalam Perkara: Asani bin Haji
Sulaiman.
103. XI.3. Pornografi.
Kwalifiksi tindak pidana yang
oleh Pengadilan Tinggi dirumuskan sebagai “Mempertunjukkn kepada umum
gambar/film yang dikenalnya melanggar kesusiIaan” diperbaiki sehingga menjadi:
“Mempertunjukkan secara
terang-terangan gambar/film yang dikenalnya melanggar kesusilaan”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 8 - 1
- 1975 No. 52 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : 1. haji Hamin
Drachman; 2. Hans Handoko, alias Tjio; 3. Mansjur.
dengan Susunan Majelis :1. Prof.
Oemar Seno Adji S.H.; 2. Kabul Arifin S.H.; 3. Busthanul Arifin S.H.
104. XI. Perjudian.
Permainan “lotre buntut” harus
dipandang sebagai judi yang memenuhi syarat-syarat pasal 303 ayat 3 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 8 - 1
- 1975 No. 130 K/Kr/1972.
Dalam Perkara : Eddy.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
Oemar Seno Adji S.H.; 2. R.Z. Asikin Kusumaatmadja S.H.
105. XI.10. Penganiayaan hewan.
Sepanjang pengetahuan Mahkamah
Agung tidak dikenal hukum adat di Tapanuli yang menentukan bahwa apabila seekor
babi dari lain kampung merusak tanaman, babi ini dapat dibunuh; maka perbuatan
terdakwa tetap merupakan pelanggaran pasal 302 K.U.H.P. jo P.P.P.U. No. 18
tahun 1960.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
27-9-1961 No. 64 K/Kr/1961.
Dalam Perkara : Sappe Taringan.
106. XI.11. Perkawinan terlarang.
Perbuatan penuntut kasasi, yang
dituduh melanggar pasal 279 ayat 1 ke 2 K.U.H.P. tidak merupakan kejahatan
ataupun pelanggaran, karena pada umurnnya menurut hukum adat yang berlaku
diseluruh Indonesia khususnya diluar daerah berlakunya H.O.C.I. tidak ada larangan
bagi laki-laki untuk kawin dengan lebih dari seorang perempuan dan peristiwa
yang menjadi perkara ini terjadi sebelum berlakunya Undang2 No. 1/1974.
(Undang2 Pokok Perkawinan).
Putusan Mahkamah Agung tgl.
6-5-1975 No. 90 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : EIly Gomer Binti.
107. XI.11. Perkawinan terlarang.
Adalah layak bila para pemohon
kasasi percaya saja kepada dan menganggap syah putusan Pengadilan Agama R.I. di
Lubuk Linggau yang berisi penceraian pemohon kasasi I dengan suaminya Ali
Setam bin Pagam; dan seandainya berdirinya Pengadilan Agama itu secara tidak
syah, kekeliruan anggapan para pemohon kasasi ini merupakan suatu kekeliruan
yang dapat dimaafkan (yen. schoonbare dwaling).
Maka pemohon kasasi yang telah
melangsungkan perkawinan dengan berpegangan pada putusan Pengadilan Agama
tersebut tidaklah dapat dianggap terbukti telah melakukan perkawinan sedang
diketahui bahwa perkawinannya yang ada menjadi halangan yang syah baginya untuk
kawin lagi.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
1-12-1956 No. 138 K/Kr/1955.
Dalam Perkara : Pr. Masjian binti
Alikusum.
dengan Susunan Majelis 1. Mr.
R.S. Kartanegara, 2. Mr. R. Soerjotjokro, 3. Mr. Sutan Abdul Hakim.
TINDAK PIDANA TERHADAP KEHORMATAN
108. XII.1. Penghinaan.
Karena tuduhan-tuduhan terhadap
Mr. Jusuf Wibisono yang dilontarkan penuntut kasasi dalam karangannya ada samar
tidak tegas dan nyata, tidaklah dapat diterima bahwa penuntut kasasi telah
bertindak demi kepentingan umum.
Lagi pula bagi penuntut kasasi
sebagai anggota D.P.R. ada jalan lain untuk bertindak demi kepentingan umum,
ialah dengan membicarakan masalahnya didalam D.P.R.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
9-11-1957 No. 13 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Maridi
Danoekoesoemo.
109. XII.1. Penghinaan.
Dalam tindak pidana menista
dengan surat (smaadschrift) dan pada umumnya dalam tindak pidana penghinaan
yang dimuat dalam Buku II Bab XVI K.U. H.P. tidak perlu adanya animus
injuniandi, yakni niat untuk menghina.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
21-12-1957 No. 37 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Mohamad Sjukur.
110. XII.1. Penghinaan.
Kata-kata yang diucapkan Seperti
yang dituduhkan dan terbukti di persidangan yaitu “Menawi Pak Carik mempersulit
pertanyaan kulo, kulo bade laporan datang atasan”; “Sajatosipun soal
pembentukan Panitya (P.P.P.) punopo boten dimusyawarahkan, lan saking pundi”,
adalah tidak sifat menghina.
Hal ini tunduk pada kasasi,
karena kesimpulan apakah suatu rangkaian kalimat (ucapan) bersifat menghina
atau tidak adalah kesimpulan juridis.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
22-4-1975 No. 32 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Moeslim.
dengan Susunan Majelis : 1.
Hendrotomo S.H., 2. Purwosunu S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
111. XII.1. Penghinaan.
Pembuktian mengenai kebenaran hal
yang dituduhkan sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 312 K.U.HP. hanya
diizinkan dalam hal kepada terdakwa dituduhkan kejahatan-kejahatan menista atau
menista dengan surat, akan tetapi pembuktian kebenaran yang dituduhkan itu sama
sekali tidak diperkenankan pada tuduhan kejahatan “penghinaan bersahaja”.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
4-1-1958 No. 21 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : R. Subakti.
112. XII.1. Penghinaan
Penghinaan atas pejabat yang
mendampingi orang yang menjalankan tugasnya secara syah dipandang ditujukan
terhadap seorang pejabat yang dimaksudkan dalam pasal 316 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
10-10-1974 No. 45 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : I. Frans Suriton,
II. Ny. N. Suriton Sampauw.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
Oeman Seno Adji S.H., 2. Hendrotomo S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
113. XII.1. Pengaduan palsu.
Surat pengaduan ataupun
“aangifte” bahwa seorang jaksa telah memaksakan kepada terdakwa untuk mengambil
seorang pengacara tertentu, yang dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi,
merupakan pengaduan atau “aangifte” kepada “overheid” termaksud dalam pasal 317
K.U.H.P. “Bevoegd” atau tidaknya Pengadilan Tinggi mengurus isi pengaduan atau
“aangifte” itu tidak merupakan unsur dari pasal 317 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
11-2-1958 No. 32 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Liem Koen Beng.
114. XII.3. Fitnah.
Perbuatan yang dilakukan oleh
pembela untuk mempertahankan kepentingan yang dibelanya, dianggap dilakukan
karena terpaksa (noodzakelijke verdediging) asalkan saja perbuatan-perbuatan
membela itu dilakukan dengan baik dan dengan cara yang tidak berlebihan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
3-1-1973 No. 109 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : Yap Thian Hien
S.H.
dengan Susunan Majelis : 1..
Prof. R. Subekti S.H., 2. Sri Widoyati Wiratmo Soekito S.H., 3. Indroharto
S.H.
TINDAK PIDANA TERHADAP KEMERDEKAAN
115. XIII.4. Tindak pidana pemaksaan.
Amar putusan Pengadilan Tinggi
tentang kejahatan yang dipersalahkan kepada tertuduh yang berbunyi : “Dengan
melawan hukum mengancam dengan suatu perbuatan lain atau mengancam dengan
perbuatan yang tidak menyenangkan saksi Pr. Nursiyam melakukan perbuatan
meminum brendi dan air daun nenas diremas dengan garam”.
Harus diperbaiki sehingga
berbunyi sebagai berikut “Dengan melawan hukum memaksa onang lain untuk
melakukan sesuatu dengan perbuatan yang tak menyenangkan”.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
4-8-1976 No. 92 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Daslim bin
Ahmaddin.
dengan susunan rnajelis : 1.
Prof. Oemar Seno Adji S.H., 2. Hendrotomo S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
TINDAK PIDANA TERHADAP NYAWA DAN
TUBUH ORANG
116. XIV.4. Menyebabkan mati/luka karena
kelalaian.
Tindak pidana tersebut dalam
pasal 360 K.U.H.P. adalah “Karena kealpaannya menyebabkan orang luka sehingga
tidak dapat menjalankan pekerjaannya sementara”.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
4-5-1974 No 83 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Ketang bin
Rustarn.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
Oemar Seno Adji S.H., 2. Hendrotomo S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
117. XIV.4 Menyebabkan luka karena kelalaian.
Antara kejahatan-kejahatan
tersebut dalam pasal 195 ayat 1 dan pasal 360 K.U.H.P. tidak ada hubungan
sebagai tindak pidana khusus terhadap tindak pidana umum; kedua
kejahatan-kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang berdiri sendiri.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
8-5-1962 No. 3 K/Kr/1962.
Dalam Perkara: Legiman.
118. XIV.4. Menyebabkan mati karena kelalaian.
Pembayaran kerugian oleh penuntut
kasasi kepada pihak korban tidak menghapuskan kesalahannya atas kejahatan yang
dituduhkan kepadanya.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
14-3-1962 No. 175 K/Kr/1961
Dalam Perkara : Ruslan bin Egok.
119. XIV.5. Penganiayaan.
Kejahatan tersebut dalam pasal
352 K.U.H.P. adalah tindak pidana yang harus dilakukan dengan sengaja dan untuk
menentukan apakah tindak pidana ini dilakukan dengan sengaja atau tidak, tidak
perlu dibuktikan adanya niat buruk pada terdakwa.
Putusan Mahkamah Agung tgl..
31-8-1957 No. 163 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Lie Lam Fong.
TINDAK PIDANA TERHADAP KEKAYAAN
120. XV.1. Pencurian.
Pemberian bon untuk pertanggungan
jawab pengambilan kopi tidak menghilangkan kesalahan penuntut kasasi tentang
pencurian kopi tersebut.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
22-10-1963 No. 64 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Mochamad Anwar
Nasution.
121. XV2. Penggelapan.
Unsur memiliki dalam pasal 372
K.U.H.P. berarti menguasai suatu benda bertentangan dengan sifat dari hak yang
dimiliki atas benda itu.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
11-8-1959 No. 69 K/Kr/1959.
Dalam Perkara : Soetomo
Soemopawiro bin Soemopawiro.
122. XV.2. Penggelapan.
SoaI apakah perbuatan penuntut
kasasi menimbulkan kerugian atau tidak, tidaklah merupakan unsur dari tindak pidana
penggelapan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
3-12-1963 No. 101 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Ir. Mursaid
Kromosudarmo.
123. XV.2. Penggelapan.
Yang diartikan dengan kata
memiliki (toeeigenen) sebagai termaksud dalam pasal 374 K.U.H.P. ialah
menguasai barang bertentangan dengan hak yang dipunyai seseorang atas barang
tersebut (toeeigening is een “beschikken” over het goed in strijd met de aard
van het recht, dat men over dat goed uitoefent) maka penggunaan uang oleh
seorang pegawai negeri untuk keperluan lain (meskipun untuk itu dibuatkan bon)
dari pada yang telah ditentukan merupakan kejahatan termaksud dalam pasal 374
K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
8-5-1957 No. 83 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Maijidin Manorsa
Siagian.
124. XV.2. Penggelapan.
Perkataan “memiliki” dan
menggelapkan” dalam pasal 372 dan 415 K.U.H.P. tidak selalu mengandung sifat
bermanfaat bagi diri pribadi.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
7-4-1956 No. 92 K/Kr/1955.
Dalam Perkara : Mas Soepii
Adiwidjojo.
125. XV.2. Penggelapan.
Dengan merubah kata “mengambil”
dalam tuduhan menjadi “memiliki”
Pengadilan Tinggi tidak melanggar
pasal 282 (2) HJ.R., karena dari penjelasan yang mengikuti kata tersebut “yakni
barang yang dipegang olehnya bukan karena kejahatan” dapat disimpulkan bahwa
masalahnya hanyalah masalah perbedaan penerjemahan kata “zich toeeigenen”.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
25-2-1958 No. 308 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Ali bin Said
Badjeri.
126. XV.2. Penggelapan.
Dalam hal seseorang diwajibkan
menjual barang kepada pihak-pihak tertentu, ia dapat dianggap melakukan
kejahatan penggelapan apabila ia menjual barang yang bersangkutan kepada orang
lain.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
22-9-1956 No. 33 K/Kr/1956.
Dalam Perkara: Benyamin Alwien
Rozenberg.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr.
S. Kartanegara, 2. Mr. S. Soerjotjokro, 3. Mr. Sutan Abdul Hakim.
127. XV.2. Penggelapan.
Seorang dealer yang bertindak
atas nama dan untuk firma tertentu yang tidak menyerahkan kepada firma tersebut
seluruh uang penjualan yang diterimanya dari para pembeli, melainkan
mempergunakannya untuk kepentingan sendiri tanpa izin dari firma melakukan
tindakan pemilikan tanpa hak dan oleh karenanya dipersalahkan melakukan
penggelapan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
28-8-1974 No. 50 K/Kr/1973.
Dalam Perkara :1. R. Ibrahim
Karnadiputra, II. Usman Pagardjati.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr.
Santoso Poedjosoebroto S.H., 2. Palti Radja Siregar S.H., 3. Busthanul Arifin
S.H.
128. XV.2. Penggelapan.
Dengan penerimaan kembali oleh
orang yang dirugikan sebagian dari uang yang digelapkan, sifat kepidanaan dari
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tidak berubah menjadi keperdataan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
8-2-1958 No. 242 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Malbani bin
Akwan.
129. XV.2. Penggelapan.
Pembayaran kembali uang pada tgl.
13 September 1956 tidak meniadakan sifat tindak pidana dari perbuatan yang
menurut surat tuduhan telah dilakukan oleh terdakwa pada waktu antara
September 1956 dan Desember 1956.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
10-11-1959 No. 183 K/Kr/1959.
Dalam Perkara: R. Sasmito
Amidjojo bin R. Sastroamidjojo.
130. XV.2. Penggelapan.
Terdakwa sebagai penyelenggara
arisan dalam perkara ini, karena tidak menyerahkan uang arisan yang telah
terkumpul kepada anggota yang berhak, telah melakukan penggelapan dan tidak
tepat kalau arisan dianggap sebagai hubungan pinjam meminjam tanpa bunga.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
19-11-1973 No. 106 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: Ny. Misnan
Darmosoekarto.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
R. Subekti S.H.; 2. D.H. Lumbanradja S.H.; 3. Indroharto S.H.
131. XV.2. Penggelapan.
Karena para terdakwa telah
menjual kain blacu itu kepada orang luar daerah Pasuruan, sedang kain blacu ini
mereka peroleh dalam kedudukan sebagai penyalur untuk masyarakat dan
jawatan-jawatan di daerah Pasuruan, mereka telah berbuat menyimpang dari sifat
dan tujuan penerimaan kain blacu tersebut kepada mereka sehingga perbuatan
mereka harus dianggap sebagai pemilikan secara melawan hukum yang dilakukan dengan
sengaja.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
28-8-1965 No. 68 K/Kr/1965.
Dalam Perkara: 1 Pek Tjie Sing;
2. Lauw Kong Kie;
132. XV.2. Penggelapan.
Walaupun tidak menyebabkan
batalnya seluruh putusan, namun karena pasal 372 K.U.H.P. dan berikutnya tidak
menyebut-nyebut “penggelapan yang dilakukan bersama-sama”, maka perlu
kwalifikasi dari amar putusan tersebut diperbaiki sehingga berbunyi:
Menyatakan terdakwa-terdakwa
tersebut di atas masing-masing bersalah melakukan kejahatan “penggelapan”.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
28-8-1974 No. 50 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: 1. R. Ibrahim
Karnadiputra; 2. Usman Pagardjati.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr.
Santoso Pudjosubroto S.H.; 2. Palti Radja Siregar S.H.; 3. Busthanul Arifin
S.H.
133. XV.2. Penggelapan.
Pasal 374 K.U.H.P. hanyalah
pemberatan dari pasal 372 K.U.H.P. yaitu apabila dilakukan dalam hubungan
jabatan, sehingga kalau pasal 374 K.U.HP. dapat dibuktikan maka pasal 372
K.U.H.P. dengan sendirinya dapat dibuktikan juga.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
25-9-1975 No. 35 K/Kr/1975.
Dalam Perkara: Abdul Roni bin
Muhamad.
dengan Susunan Majelis: 1.
Hendrotomo S.H.; 2. Purwosunu S.H.; 3. Bustanul Arifin S.H.
134. XV.2.
Penggelapan.
Bahwa kuasa Direksi tidak
menganggap perlu untuk mengadukan penuntut kasasi kepada Polisi, tidaklah
menutup wewenang Penuntut Umum untuk menuntut perkara ini di muka Hakim karena
tindak pidana penggelapan bukan suatu delik aduan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
18-10-1967 No. 129 K/Kr/1966.
Dalam Perkara: P.H. Bok, Pontas
Siregar, M.P. Lumbantoruan.
dengan Susunan Majelis: 1.
Surjadi S.H.; 2. Subekti S.H.; 3. M. Abdurrachman S.H.
135. XV.2. Penggelapan.
Untuk dapat dianggap melakukan penggelapan
dalam kedudukan “penguasaan pribadi” (persoonlijke dienstbetrekking) tidak
harus sipembuat mendapatkan upah, rnelainkan sebagaimana telah dengan tepat
dipertimbangkan oleh Pengadilan Tinggi, cukuplah penggelapan itu dilakukan
dalam rangka pelaksanaan suatu tugas resmi yang diberikan kepadanya, ialah
dalam perkara ini berdasarkan surat keputusan dari Pemerintah/Ketua J.B.P.P.
Dati II Sukabumi/ Bupati KHD tk. II Sukabumi tgl. 16 Juli 1963, surat
perjanjian antara Bupati kdh. tersebut tgl. 2 September 1963 untuk membeli
beras keperluan Pemerintah Daerah Dati II Sukabumi/J.B.P.P.;
Putusan Mahkamah Agung tgl.
16-4-1966 No. 144 K/Kr/1966.
Dalam Perkara: Tengku Mustadjab
bin Husain.
dengan Susunan Majelis: 1. Dr.
Wirjono Prodjodikoro S.H.; 2. M. Abdurrachman S.H.; 3. Surjadi S.H.
136. XV.2. Penggelapan.
Para penuntut kasasi telah dengan
tepat dipersalahkan melanggar pasal 374 K.U.H.P. karena uang sumbangan Dana
Irian Barat (yang telah mereka terima selaku pengurus OPS Syrup/Saribuah dari
para anggauta OPS tersebut untuk disampaikan kepada Panitia Dana Perjuangan
Irian Barat) hanya boleh disimpan dalam Bank yang telah ditunjuk untuk itu
yaitu Bank Nasional Indonesia, sedang mereka menyimpannya di suatu Bank lain
yang tidak diberitahukan kepada Panitia Dana Perjuangan Irian Barat dan juga
mereka menggunakannya untuk keperluan lain daripada tujuan yang dimaksudkan
oleh Panitia.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
5-4-1969 No. 104 K/Kr/1967.
Dalam Perkara: 1. Froderik
Lamsana Namora; 2. Lim Sek Kang; 3. Tan Khing Ho.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
Subekti S.H.; 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H.; 3. Bustanul Arifin S.H.
137. XV.3. Penipuan.
Perbuatan yang merupakan unsur
dari pasal 378 K.U.H.P. adalah: - membujuk orang untuk membuat hutang atau
penghapuskan piutang bukannya:
membujuk orang untuk memberi
pinjaman.
Maka perbuatan yang dituduhkan
kepada penuntut kasasi: - bahwa ia telah membujuk Teh Tjoe Fat (saksi) untuk
memberi pinjaman kepadanya, tidaklah merupakan kejahatan yang dimaksudkan oleh
pasal 378 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
11-8-1960 No. 66 K/Kr/1960.
Dalam Perkara: Tjan Soan Djien.
138. XV.3. Penipuan.
Seseorang yang menyerahkan cek,
padahal ia rnengetahui bahwa cek itu tidak ada dananya, perbuatannya merupakan
tipu muslihat sebagai termaksud dalam pasal 378 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
15-11-1975.No. 133 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: Ferdinan Siagian;
Turman Hutagaol.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
Oemar Seno Adji S.H.; 2. Kabul Arifin S.H.; 3. Purwosunu S.H.
139. XV.3. Penipuan.
Yang dilakukan antara tertuduh
dan saksi adalah transaksi keperdataan yang tidak ada unsun-unsur penipuan,
karena saksi harus dianggap mengerti benar tentang nilai kwitansi-kwitansi
yang diterimanya.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
31-1-1973 No. 104 K/Kr/1971.
Dalam Perkara :Rinie Juniastutik.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
Subekti S.H.; 2. Busthanul Arifin S.H.; 3. D.H. Lumbanradja S.H.
140. XV.3. Penipuan.
Maksud penipuan tidak ada, karena
uang yang diminta oleh terdakwa sesuai dengan ucapan terdakwa diperhitungkan
dengan/diambil dari honorarium terdakwa, meskipun uang tersebut tidak
dibelikan ban sepeda motor untuk saksi sebagaimana diutarakan waktu terdakwa
minta uang tersebut.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
19-9-1970 No. 67 K/Kr/1969.
Dalam Perkara: R. Darmodjo.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
R. Subekti S.H.; 2. Indroharto SH.; 3. Sri Widoyati Wiratmo Soekito S.H.
141. XV.3. Penipuan - “Stellionaat”.
Meminjam sebidang tanah dari yang
berhak guna digarap satu musim, tetapi setelah waktu tiba untuk
rnengembalikannya pada yang berhak, tidak dikembalikannya, malahan dijual
musiman kepada orang lain, dipersalahkan melanggar pasal 385 (4) K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
28-8-1974 No. 104 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: Mualib bin Sakawi.
dengan Susunan Majelis: 1. Dr.
Santoso Pudjosubroto S.H.; 2. Palti Radja Siregar S.H.; 3. Busthanul Arifin
S.H.
142. XV.3. Penipuan - “Stellionaat”.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi
yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Karena terdakwa telah terbukti:
dengan maksud untuk menguntungkan anak kandungnya sendiri telah menghilangkan
hak saksi K.L. atas tanah karcis No. 317 pada pembagian tanah bendar Simare
Mangunsaksak;
terdakwa dipersalahkan melakukan
kejahatan: “Dengan maksud hendak rnenguntungkan diri sendiri ataupun orang lain
dengan melawan hukum telah melanggar hak orang Indonesia atas tanah sedangkan
diketahuinya orang lain yang berhak atas tanah itu”.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
10-5-1972 No. 107 K/Kr/1970.
Dalam Perkara: Philemon Lubis.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
R. Subekti S.H.; 2. Busthanul Arifin S.H.; 3. Indroharto S.H.
143. XV.3. Penipuan.
Seseorang tidak dapat secara
menurut hukum (rechtmatig) memakai nama orang lain.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
15-1-1962 No. 74 K/Kr/1962.
Dalam Perkara: Tan Ling Ting.
144. XV.4. Penadahan.
Tindak pidana penadahan ex pasal
480 K.U.H.P. pada umumnya bersifat formil, sehingga ada tidaknya pihak lain
yang dirugikan bukanlah unsur yang menentukan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
9-3-1965 No. 201 K/Kr/1964.
Dalam Perkara: Poernomo.
145. XV.4. Penadahan.
Tidak ada peraturan yang
mengharuskan untuk lebih dahulu rnenuntut dan menghukum orang yang mencuri
sebelum menuntut dan menghukum orang yang menadah.
Dalam perkara ini adanya orang
yang kecurian dan adanya barang-barang yang berasal dari pencurian itu terdapat
pada penadahnya, sudahlah cukup untuk menuntut yang bersangkutan karena
penadahan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9-7-
1958 No. 79 K/Kr/1958.
Dalam Perkara: Tee Sien Tyai.
146. XV.4. Penadahan.
Pemeriksaan tindak pidana
penadahan tidak perlu menunggu adanya keputusan mengenai tindak pidana yang
menghasilkan barang-barang tadahan yang bersangkutan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
29-11-1972 No. 126 K/Kr/1969.
Dalam Perkara: R. Hendro.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
Subekti S.H.; 2. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.; 3. Indroharto S.H.
147. XV.4. Penadalian.
Membeli barang yang berasal dari
penadahan tetap dapat dihukum, karena penadahan merupakan juga suatu
kejahatan; asalkan saja pembeli mengetahui atau patut dapat rnenyangka bahwa
barang yang dibelinya itu berasal dari kejahatan: dalam hal ini penadahan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
10-8-1957 No. 166 K/Kr/1957.
Dalam Perkara: Achmad bin
Marhadan.
148. XV4. Penadahan.
Tindak pidana “penadahan” dapat
berdiri sendiri disamping dan Sejajar dengan tindak pidana “pencurian”.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
21-11-1961 No. 103 K/Kr/1961.
Dalam Perkara: Kardjono.
149. XV.5. Pemerasan.
Salah satu unsur dari pasal 425
(1) K.U.H.P. ialah “menjalankan perbuatan itu dalam jabatannya”.
Karena pembuatan daftar
penerimaan uang dan pembayaran gaji orang-orang yang dimintai uang oleh
terdakwa itu bukan tugas terdakwa sebagai klerk pada Jawatan Pengajaran Daerah,
tetapi tugas dari Kepala Sekolah Rakyat yang bersangkutan sedang terdakwa
hanya dimintai bantuan; maka permintaan uang termaksud, tidaklah dilakukan
terdakwa dalam jabatannya.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
23-1-1956 No. 25 K/Kr/1955.
Dalam Perkara: Tuna Husain.
150. XV.5. Pemerasan.
Pertimbangan Pengadilan Negeri
yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Karena tertuduh telah terbukti:
mengancam saksi akan membuka rahasia saksi dengan menulis di surat kabar
tentang perbuatan-perbuatan saksi kalau saksi tidak mau memberikan uang Rp.
5.000,- kepada tertuduh, tetapi uang tersebut tidak didapatinya karena saksi
mengadakan perlawanan;
tertuduh dipersalahkan melakukan
kejahatan: “Mencoba melakukan pemerasan”.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
29-3-1972 No. 106 K/Kr/1970.
Dalam Perkara: Mamad Simbolon.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
R. Subekti S.H.; 2. Indroharto SH; 3. Sri Widoyati Wiratmo Soekito SH.
151. XV.5. Pemerasan
Kebiasaan memungut uang
honorarium tersebut dalam perkara ini sudah merupakan kebiasaan yang diterima
oleh masyarakat.
Tindakan tersebut tidak
bertentangan dengan Undang.undang No. 9 tahun 1961.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
23-7-1973 No. 43 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: Drs. I. Gede
Sudana.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
R. Subekti Sit; 2. Ny. Sri Widoyati Wiratmo Soekito SH; 3. Busthanul Arifin
S.H.
152. XV.6. Perusakan barang.
Keberatan yang diajukan dalam
memori kasasi: - bahwa para penuntut kasasi merusak rumah saksi karena rumah
itu didirikan di atas tanah\mereka tanpa izin mereka, sehingga yang mereka
lakukan itu adalah justru mempertahankan hak milik;
tidak dapat dibenarkan, karena
dalam hal ini seharusnya para penuntut kasasi mengajukan persoalannya kepada
alat-alat Negara yang berwenang dan tidak merusak sendiri rumah itu, sehingga
perbuatan mereka merupakan kejahatan termaksud dalam pasal 406 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
15-3-1958 No. 24 K/Kr/1958.
Dalam Perkara : Senang marga
Karo-Karo, Martin Padang.
TINDAK PIDANA PENERBITAAN
153. XVI.1. Tindak pidana penerbitan.
Seorang redaktur yang dengan
sengaja menyuruh muat dalam surat kabar yang dipimpinnya sebuah karangan yang
mengandung isi yang menista orang lain, merupakan pelaku peserta (mededader)
dari kejahatan menista.
Orang yang dengan sengaja
mengirimkan kepada redaktur ini sebuah karangan yang mengandung isi yang
menista orang lain dianggap sebagai pembantu dari kejahatan menista tersebut;
karena ia memberikan bahan-bahan yang merupakan alat untuk melakukan kejahatan
itu.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
16-1-1959 No. 122 K/Kr/1958.
Dalam Perkara: Goei Poo Aan.
TINDAK PIDANA JABATAN
154. XVII. Tindak pidana jabatan.
Kerugian bagi Negara dan
keuntungan bagi diri sendiri tidak merupakan unsur tindak pidana yang tercantum
dalam pasal 416 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
17-1-1962 No. 152 K/Kr/1961.
Dalam Perkara: Hardjoutomo bin
Prawirodinoto.
155. XVII. Tindak pidana jabatan.
Bahwa pemilikan dilakukan dengan
sengaja dan bahwa pemilikan itu dengan tidak hak merupakan unsur-unsur dari
pada tindak pidana tersebut dalam pasal 372 K.U.H.P., tetapi unsur-unsur
tersebut tidak termuat dalam pasal 415 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
7-7-1964 No. 166 K/Kr/1963.
Dalam Perkara: Boerhanoedin gelar
Marah Soetan.
156. XVII. Tindak pidana jabatan.
Undang-undang/Hukum tidak
mengenal ketentuan, bahwa apabila seorang Pegawai Negeri dituduh melakukan
kejahatan yang dimaksud oleh pasal 418 K.U.H.P., orang yang memberi kepada
Pegawai itu harus dituntut lebih dahulu atas kejahatan tersebut dalam pasal
209 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
13-12-1960 No. 50 K/Kr/1960.
Dalam Perkara: R. Moch. Zainudin
Pranotodikusumo.
157. XVII.
Tindak pidana jabatan.
Keberatan yang diajukan oleh
penuntut kasasi: bahwa ia menggunakan uang itu atas pemberian tanggungan rumah
dan tanah dan untuk itu ia sudah mendapat izin;
tidak dapat dibenarkan, karena
pemberian tanggungan tersebut tidaklah rnerubah status uang itu sebagai uang
Pemerintah yang tidak boleh digunakan untuk tujuan lain dari pada yang telah
ditentukan; sedang izin yang dikemukakan itu ternyata adalah untuk memberi
kesempatan kepadanya mengembalikan uang yang telah dipergunakan; sehingga
tidak mernpengaruhi sifat penggunaan uang tersebut diluar tujuanrya.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
30-6-1964 No. 47 K/Kr/l964.
Dalam Perkara: Mangoentenojo
alias Markiman.
158. XVII. Tindak pidana jabatan.
Dipergunakannya sejumlah uang
oleh seorang Pegawai Negeri untuk pos lain dari pada yang ditentukan, merupakan
kejahatan penggelapan termaksud dalam pasal 415 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
23-3-1957 No. 73 K/Kr/1956.
Dalam Perkara: Kyai Haji Abdul
Djalil.
dengm Susunan Majelis: 1. Mr. R.S.
Kartanegara; 2. Mr. Sutan Abdul Hakim; 3. R. Ranoe Atmodjo.
159. XVII. Tindak pidana jabatan.
Walaupun terdakwa berwenang
menguasai keuangan untuk pekerjaan sehari-hari dan rutin, akan tetapi dengan
mengizinkan penggunaan uang untuk tujuan lain dari pada yang ditetapkan,
terdakwa telah melampaui batas wewenangnya, tindakan mana merupakan tindak
pidana karena merugikan keuangan Negara.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
3-11-1971 No. 88 K/Kr/1969.
Dalam Perkara: Ir. Soenarso.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
R. Subekti S.H.; 2. Busthanul Arifin SH.; 3. Z. Asikin Kusuma Atmadja S.H.
160. XVII. Tindak pidana jabatan.
Kebiasaan mengambil uang dari Kas
oleh seorang Pegawai Negeri sebagai pinjaman dengan kasbon sebagai yang telah
dilakukan oleh penuntut kasasi tidak menghapuskan kesalahan penuntut kasasi
terhadap tindak pidana yang dituduhkan kepadanya. (melanggar Adat sesuai dengan
pasal 415 K.U.H.P.).
Putusan Mahkamah Agung tgl.
11-4-1961 No. 106 K/Kr/1960.
Dalam Perkara: Muksin Ishak bin
Ishak.
161. XVIl. Tindak pidana jabatan.
Untuk menerapkan pasal 418
K.U.H.P., masalahnya harus ditinjau dari sudut Pegawai yang menerima hadiah dan
dari sudut orang yang memberi hadiah.
Dalam perkara ini, saksi Achmad
yang memberi hadiah adalah orang yang sederhana, maka dapat dimengerti bahwa
dalam pandangannya, penuntut kasasi (seorang Komis pada Kantor Pengadilan
Negeri) adalah seorang Pegawai yang berkuasa.
Ditinjau dari sudut pemberi
hadiah, penuntut kasasi yang karena mengusahakan agar perkara perdata saksi
diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri telah menerima hadiah dari saksi,
telah melanggar pasal 418 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
12-9-1961 No. 127 K/Kr/1960.
162. XVII. Tindak pidana jabatan.
Keberatan yang diajukan penuntut
kasasi, bahwa perbuatannya itu (meminta sejumlah uang dari beberapa penduduk
desa) merupakan pelaksanaan dari pada putusan musyawarah penduduk desa;
tidak dapat dibenarkan, karena
putusan musyawarah tsb. yang ternyata tidak memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan oleh pasal 6 I.G.O. adalah tidak syah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
25-12-1957 No. 61 K/Kr/1957.
Dalam Perkara: Saridjojo alias
Taslim.
TINDAK PIDANA SUBVERSI
163. XIX. Tindak pidana subversi.
Adanya latar belakang politik
merupakan unsur yang essensiil bagi tindak pidana subversi.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
22-2-1969 No. 89 K/Kr/1968.
Dalam Perkara: Panto Soegeng.
dengan Susunan Majelis: 1. M.
Abdurrachman S.H.; 2. Prof. Sardjono SH.; 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
164. XIX. Tindak pidana subversi.
Latar belakang dari tindak pidana
subversi, ialah hubungannya dengan kekuatan-kekuatan politik, kekuatan-kekuatan
asing dll. tidak diperlukan, sebab yang perlu disimpulkan adalah unsur-unsur
delik subversi dari perbuatan-perbuatan nyata para terdakwa.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
17-7-1971 No. 28 K/Kr/1969.
Dalam Perkara: Madjaeni al Zamad
dkk.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
R. Sardjono S.H.; 2. Busthanul Arifin S.H.; 3. Indroharto S.H.
165. XIX. Tindak pidana subversi.
Untuk klasilikasi yang tepat
daripada kejahatan termaksud dalam Pen. Pres. No. 11 tahun 1963, putusan
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi perlu diperbaiki sekedar mengenai
kwalifikasinya sehingga menjadi: “Telah bersalah melakukan tindak pidana
subversi”.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
17-9-1975 No. 8 K/Kr/1974.
Dalam Perkara: Hasyim La Biru bin
La Bole.
dengan Susunan Majelis: 1. Kabul
Arifin S.H.; 2. Poerwosunu S.H.; 3. Busthanul Arifin SH.
TINDAK PIDANA KORUPSI.
166. XX. Tindak pidana korupsi.
Tindak pidana tersebut dalam
Undang-Undang Korupsi pasal 1 c jo. pasal 415 K.U.H.P., adalah: melakukan
tindak pidana korupsi dengan jalan bagai Pegawai Negeri menerima
hadiah/pemberian, sedang ia tahu atau patut dapat menduga bahwa apa yang
dihadiahkan itu berhubungan dengan kekuasaan atau wewenang karena jabatannya.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
19-11-1974 No. 77 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: R.
Soemarto.Sumarjo.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
Oemar Seno Adji S.H.; 2. Kabul Arifin S.H.; 3. Indroharto S.H.
167. XX. Tindak pidana korupsi.
Ancaman hukuman terhadap tindak
pidana korupsi adalah hukuman penjara dan/atau denda, maka Hakim dapat memilih
antara kedua jenis hukuman itu dan dapat pula memberi hukuman secara cumulatief,
ialah hukuman penjara dan denda;
Putusan Mahkamah Agung tgl.
16-7-1974 No. 119 K/Kr/1972.
Dalam Perkara: M. Usnawi bin Haji
Jahya dkk.
168. XX. Tindak pidana korupsi.
1. Terdakwa dipersalahkan melakukan korupsi
cq. penggelapan walaupun ia tidak melakukannya sendiri secara langsung
melainkan sengaja membiarkan orang lain menggelapkan uang negara yang ada pada
terdakwa karena jabatannya (dalam hal ini orang lain tersebut menggunakan uang
termaksud untuk tujuan-tujuan di luar tujuan penggunaan semula) dan walaupun
yang menguasai uang tersebut adalah bukan terdakwa melainkan Kepala Kantor
Pembayaran yang atas perintah terdakwa Kepala Kantor ini melakukan pembayaran
langsung kepada leveransir.
Tidak dapat diterima anggapan
terdakwa yang mengatakan bahwa ketidak beresan prosedur pelaksanaan ada pada
Menteri, karena seorang Menteri hanya bertanggung jawab terhadap
politis-beleid, sedangkan technis beleid (pelaksanaan) tetap pada terdakwa.
2. Terdakwa dipersalahkan melakukan korupsi
cq. menerima hadiah, walaupun menurut anggapannya uang yang diterima itu dalam
hubungan dengan kematian keluarganya, lagi pula penerima barang-barang bukan ia
terdakwa melainkan isteri dan/atau anak-anak terdakwa.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
19-11-1974 No. 77 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: R. Soemarto
Sumardjo.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
Oemar Seno Adji S.H.; 2. Kabul Arifin S.H.; 3. Indroharto SH.
169. XX. Tindak pidana korupsi.
Tindak pidana tersebut dalam
Undang-undang Korupsi pasal 1 a adalah : melakukan tindak pidana korupsi dengan
jalan sebagai pegawai negeri dengan sengaja membiarkan uang yang ada padanya
karena jabatannya digelapkan orang lain.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
19-11-1974 No. 77 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: R. Sumarto
Sumarjo.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
Oemar Seno Adji S.H.; 2. Kabul Arifin S.H.; 3. Indroharto S.H.
170. XX. Tindak pidana korupsi.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi
yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Kwalifikasi yang tercantum dalam
amar putusan Pengadilan Negeri: “Karena salah kerakusan, sebagai pegawai
negeri yang pada waktu menjalankan jabatannya, menagih sesuatu pembayaran
seolah-olah harus dibayar baik kepadanya sendiri, maupun kepada pegawai negeri
lain, sedang diketahuinya bahwa wang itu bukan termasuk utang orang, dilakukan
beberapa kali berturutturut”.
adalah kurang tepat sehingga
perlu diperbaiki menjadi sebagai berikut : “Menyatakan para terdakwa: 1.
……..dan 2. ……….bersalah melakukan kejahatan korupsi dilakukan beberapa kali”.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
10-5-1969 No. 111 K/Kr/1967.
Dalam Perkara: 1. Ismail J.
Hatibi; 2. Usman Pulukadang.
dengan Susunan Majelis: 1. M.
Abdurrachman S.H.; 2. D.H. Lumbanradja S.H.; 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito
S.H.
171. XX. Tindak pidana korupsi.
Keberatan yang diajukan dalam
memori kasasi: - bahwa penuntut kasasi menerima barang-barang itu dan yang
berhak menyimpan secara bon, jadi merupakan hutang piutang dan hutangnya telah
dibayar lunas;
tidak dapat dibenarkan, karena
pada koperasi tersebut ada larangan untuk membon barang-barang koperasi,
sedang perlunasan bon-bon itu tidak menghiIangkan sifat kejahatan dari
perbuatan yang telah dilakukan penuntut kasasi.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
10-8-1965 No. 133 K/Kr/1964.
Dalam Perkara: Djojosoewarno alias
Suwardi.
172. XX. Tindak pidana korupsi.
Pertimbangan Pengadilan Negeri
yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Perjanjian antara P.N.K.A. dan
terdakwa tgl. 22 Maret 1969 No. 011/ HK/P/1969 baik karena namanya: “Perjanjian
pelaksanaan proyek pengadaan bantalan kayu jati untuk P.N.K.A.” inaupun
pasal-pasal di dalamnya: - Pasal pertama dan utama: “Pihak pertama memberi
tugas dan pihak kedua dengan penuh rasa tanggung jawab menerima tugas
………..dst.”, adalah suatu penugasan (lastgeving) dan bukannya suatu persetujuan
jual beli.
Karena itu uang yang diterima
terdakwa pada tanggal 27 Mei 1969 tidaklah lantas menjadi milik terdakwa
tetapi masihlah milik P.N.K.A. dan penggunaan uang itu oleh terdakwa untuk
keperluan lain daripada yang dimaksud dalam perjanjian di atas adalah
perbuatan memiliki dengan melawan hukum (onrechtmatige toeeigening).
Putusan Mahkamah Agung tgl.
7-1-1976 No. 48 K/Kr/1974.
Dalam Perkara: Achmad Soetojo
Adnanputra MA.
dengan Susunan Majelis: 1.
Purwosunu S.H.; 2. Hendrotomo S.H; 3. Busthanul Arifin S.H.
TINDAK PIDANA EKONOMI
173. XXI. Tindak pidana ekonomi.
Suatu badan hukum tidak dapat
disita.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
1-3-1969 No. 136 K/Kr/1966.
Dalam Perkara: Jang Tjing Ming
alias Joung Tjoeng long.
dengan Susunan Majelis: 1. M.
Abdurrachman S.H.; 2. Busthanul Arifin S.H.; 3. lndroharto S.H.
174. XXI. Tindak pidana ekonomi.
Terhadap tiap tindak ekonomi yang
menghalang-halangi program Pemerintah, sekalipun barang-barang yang
bersangkutan bukan barang-barang sandang-pangan, berlaku Pen. Pres. No. 5 th.
1959 dan Perpu No. 21 th. 1959.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
24-11-1964 No. 144 K/Kr/1963.
Dalam Perkara: Tan Tjoan Kok; Tan
Tjoan Eng; Tan Tjoan Hong.
175. XXI. Tindak pidana ekonomi.
Terhadap putusan Pengadilan atas
tindak pidana ekonomi yang dilakukan oleh orang yang tidak dikenal,
berdasarkan pasal 16 ayat 1, 5 dan 6 Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi jo.
P.P.P.U. 15/1962, tidak dapat dimintakan kasasi.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
25-6-1963 No. 174 K/Kr/l962.
Dalam Perkara: Malaya Indonesia
Trading Co. Ltd.
176. XXI. Tindak pidana ekonomi.
Kewajiban penuntut kasasi menurut
pasal 9 Prijsbeheerschings verordening tidak bersangkut paut dengan hal pajak.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
10-4-1962 No. 119 K/Kr/1961.
Dalam Perkara: Ong Kiaow Bok.
177. XXI. Tindak pidana ekonomi.
Andaikata benar penuntut kasasi
ketika dilakukan penggeledahan oleh polisi di warungnya ia sedang bepergian ke
luar kota dan yang melayani Warung adalah isterinya, hal ini tidak membebaskan
penuntut kasasi dari tanggung jawabnya mengenai perbuatan yang dituduhkan
kepadanya; karena penuntut kasasilah yang bertindak sebagai pedagang kecil
pengusaha warung.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 13-2-1962
No. 167 K/Kr/196l.
Dalam Perkara: Lie Ping Khian.
178. XXI. Tindak pidana ekonomi.
Tertuduh tidak dapat
dipersalahkan tentang tidak dibuatnya catatan dari harga yang diperhitungkan
untuk barang dagangannya yang berupa 406 outboard motors, karena ia belum
menerima fakturnya dari penjualnya, ialah P.T. Indesti Corporation.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
14-8-1962 No. 33 K/Kr/1962.
Dalam Perkara: Haji Talik.
179. XXI. Tindak pidana ekonomi.
Dalam pasal 4 a Verordening
Gecontroleerde Goederen 1948, istilah “afleveren” (penyerahan) disebut
disamping istilah “verkopen” (menjual), maka teranglah bahwa istilah
“afleveren” tidak usah merupakan pelaksanaan dan pemberian dan pula istilah
“afleveren” tidak dapat diartikan “vervreemden”.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
17-12-1956 No. 3 K/Kr/1955.
Dalam Perkara: I Gusti Made
Sempidi.
dengan Susunan Majelis: 1. Mr.
R.S. Kartanagara; 2. Mr. Sutan Abdul Hakim; 3. R. Ranoe Atmodjo.
180. XXI. Tindak pidana ekonomi.
Kwitansi tidak bisa disamakan
dengan faktur. Kwitansi membuktikan pembayaran sejumlah uang, sedangkan faktur
membuktikan pengiriman barang.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
3-7-1962 No. 65 K/Kr/1961.
Dalam Perkara: Tjuen Juen Liong.
181. XXI. Tindak pidana ekonomi.
Rijst-ordonantie 1948 memang
terutama ditujukan terhadap kaum spekulan, akan tetapi lain dari pada itu
ditujukan juga terhadap tiap-tiap orang yang menyimpan beras lebih dari pada
yang diijinkan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
13-11-1962 No. 47 K/Kr/1962.
Dalam Perkara: Nitisumarta alias
Slamet.
182. XXI. Tindak pidana ekonomi.
Keberatan yang diajukan penuntut
kasasi, bahwa untuk kilang padinya itu ia telah minta izin dari Camat dan
Bupati Asahan pada tgl, 13 Maret 1964 dan sekarang. ia telah mempunyai izin
yang syah, tidak dapat diterima karena pada waktu perkaranya diputus oleh
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi ia belum mempunyai izin termaksud.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
2-5-1973 No. 63 K/Kr/1972.
Dalam Perkara: Togap Pandjaitan.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
Subekti S.H.; 2. Indroharto SH.; 3. R.Z. Asikin Kusumahatmadja S.H.
183. XXI. Tindak pidana ekonomi.
Perpu No. 2/1960 yang mengatur
mengenai pergudangan tidak bersangkut paut dengan Perpu No. 32/1960. Maksud
menimbun bukanlah unsur dari pada tindak pidana pergudangan tersebut dalam
Perpu No. 2/1960; sedang mengenai barang-barangnya, termasuk semua barang-barang
perusahaan tanpa membedakan antara barang-barang yang termasuk free-list dan
yang bukan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
20-8-1963 No. 184 K/Kr/1962.
Dalam Perkara: Haji Sabari Razak.
184. XXI. Tindak pidana ekonomi.
Perbuatan mengeluarkan barang seperti
yang dimaksud dalam pasal 26-b Rechten ordonnantie baru selesai dilakukan bila
telah melampaui pos penjagaan terakhir yang berada di daerah pabean.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
19-9-1970 No. 86 K/Kr/1969.
Dalam Perkara: Zainal Abidin dkk.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
R. Subekti S.H.; 2. Busthanul Arifin S.H.; 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H..
185. XXI. Tindak pidana ekonomi.
Keberatan yang diajukan oleh
penuntut kasasi: - bahwa penuntut kasasi sebagai exportir tidak dapat sendiri
mengexport getah, akan tetapi harus bekerja sama dengan agen kapal;
tidak dapat dibenarkan: - karena
expeditir dan agen kapal pada pokoknya hanya mempunyai tugas pengiriman dan
pengangkutan, sedang segala dokumen surat izin dan sebagainya disediakan oleh
dan menjadi tanggung jawab dalam segi hukum dari penuntut kasasi sebagai
exportir.
(penuntut kasasi dipersalahkan
atas kejahatan: “Mengeluarkan dari wilayah Indonesia ke luar negeri getah
sehanyak 260 ton tanpa dilindungi oleh surat-surat yang sah.”).
Putusan Mahkamah Agung tgl.
14-9-1966 No. 125 K/Kr/1965.
Dalam Perkara: Daniel Reinier
Masie.
dengan Susunan Majelis: 1.
Surjadi SH.; 2. Subekti S.H.; 3. Sutan Abdul Hakim S.H.
186. XXI. Tindak pidana ekonomi.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi
yang diberikan Mahkamah Agung :
- bahwa party kopi, termasuk lada putih,
lada hitam dan getah tersebut, masih ada dalam gudang 11 di Belawan, atas
party mana belum dilakukan pemeriksaan sebagaimana mestinya oleh Kantor Bea
Cukai di Belawan;
- bahwa dengan demikian, walaupun surat
pengiriman barang kopi dan dokumen ekspor telah diserahkan oleh P.T. Lampong
Veem kepada Jawatan Pabean, belumlah dapat dikatakan bahwa party tersebut telah
diekspor ke luar daerah pabean Indonesia.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
31-1-1968 No. 14 K/Kr/1967.
Dalam Perkara: 1. Merhat Tarigan;
2. Lie Wie Giok; 3. Kho A Tjong dkk.
dengan Susunan Majelis: 1.
Surjadi S.H.; 2. Subekti S.H.; 3. M. Abdurrachman S.H.
187. XXI. Tindak pidana ekonomi.
Karena terdakwa tidak berusaha
sebagai mestinya untuk menyelidiki apakah diantara bungkusan-bungkusan dan
surat-surat yang dititipkan kepadanya ada yang berisi barang-barang atau
alat-alat pembayaran luar negeri yang membutuhkan izin dari LAAPLN untuk dapat
dibawa ke luar negeri, ia dinyatakan bersalah atas pelanggaran tidak dengan
sengaja membawa keluar negeri alat-alat pcmbayaran tanpa izin LAAPN.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
13-4-1957 No. 1/1957/M.A. Pid.
Dalam Perkara: Roeslan Abdulgani.
dengan Susunan Majelis: 1. Mr.
R.S. Kartanegara; 2. Mr. R. Soekardono; 3. Mr. Sutan Abdul Hakim.
188. XXI. Tindak pidana ekonomi.
Undang-undang Pokok Agraria tidak
menyebabkan pasal 11 ayat 2 dari Deviezen Verordening 1940 sekedar mengenai
devisa Indonesia, tidak berlaku lagi.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
23-11-1966 No. 78 K/Kr/1965.
Dalam Perkara: 1. Ny. Endoen al.
Don; 2. Thung Liong Tioe S.H.; 3. Tan Siang Lian.
dengan Susunan Majelis: 1.
Subekti S.H.; 2. Sutan Abdul Hakim S.H.; 3. M. Abdurrachman S.H.
189. XXI. Tindak pidana ekonomi.
Kwalifikasi tindak pidana yang
oleh Pengadilan Tinggi Ekonomi dirumuskan sebagai: “Memasukkan barang-barang
dengan tidak mengindahkan peraturan-peraturan Rechten Ordonnantie dan
Reglement yang dilekatkan pada ordonnantie itu”;
diperbaiki sehingga menjadi:
“Tmdak pidana ekonomi dalam hal ini memasukkan barang-barang kedalam daerah
Pabean Indonesia tanpa dilindungi surat-surat yang sah”.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
12-11-1975 No. 89 K/Kr/1975.
Dalam Perkara: 1. Muji Setiono
bin Jotosumarto; 2. Tan Heng Yan; 3. Chaidir bin Saleh.
dengan Susunan Majelis: 1.
Hendrotomo S.H.; 2. Kabul Arifin S.H.; 3. Bustanul Arifin S.H.
190. XXI. Tindak pidana ekonomi.
Pemasukan barang-barang tersebut
kedalam pelabuhan Tanjung Perak dengan maksud akan dijual kepada
pengunjung-pengunjung kantin douane, dapat dinamakan “invoer in het vrije
verkeer” termaksud dalam pasal 1 sub 9a Deviezen Ordonnantie.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
10-4-1962 No. 119 K/Kr/1961.
Dalam Perkara: Ong Kiauw Bok.
191. XXI. Tindak pidana ekonomi.
Keberatan yang diajukan penuntut
kasasi: bahwa persil-persil yang bersangkutan adalah milk N.V. Spa Salutis,
suatu badan hukum yang berkedudukan di Bandung, jadi berdasarkan pasal 1 ayat I
Deviezen Ordonantie 1940 adalah penduduk deviezen Indonesia;
tidak dapat diterima, karena
Pengadilan Tinggi Ekonomi mempertimbangkan bahwa sekalipun N.V. tersebut
berkedudukan di Indonesia, namun N.V. tersebut masih dikuasai Ir. Roskott yang
tidak berkedudukan di Indonesia dan penuntut kasasi Ny. Endoen dalam perkara
ini hanya bertindak sebagai kedok (“stroo.vrouw”) dari Ir. Roskott; keberatan
ini adalah mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersitat penghargaan
tentang suatu kenyataan hal mana tidak dapat dipertimbangkan datam pemeriksaan
tingkat kasasi.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
23-11-1966 No. 78 K/Kr/1965.
Dalam Perkara: Ny. Endoen al.
Don; Thung Liong Tioe S.H.; Tan Siang Lian.
dengan Susunan Majelis: 1.
Subekti S.H.; 2. Sutan Abdul Hakim S.H.; 3. M. Abdurrachman S.H.
192. XXI. Tindak pidana ekonomi.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi
yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Kesalahan tertuduh (menarik cek
kosong) ternyata disebabkan oleh hal-hal tehnis di Bank, maka kesalahannya
merupakan kesalahan yang ringan;
OIeh Pengadilan Tinggi keputusan
Pengadilan Ekonomi diperbaiki sepanjang mengenai hukumannya.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
9-12-1967 No. 86 K/Kr/1967.
Dalam Perkara: Beh Kiat Seng.
dengan Susunan Majelis: 1.
Surjadi S.H.; 2. Subekti S.H.; 3. M. Abdurrachman SH.
TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM
193. XXII. Tindak pidana pemilihan umum.
Kwalifikasi tindak pidana yang
dipersalahkan kepada pemohon kasasi, seorang W.N.I. bekas anggota organisasi
terlarang yang menanda tangani kartu pemilih Model A.1, tepatnya adalah:
“Sebagai W.N.I. bekas anggota organisasi terlarang rnencoba diberi hak untuk
memilih dan dipilih”.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
8-1-1975 No. 64 K/Kr/1972.
Dalam Perkara: Mohd. Arief.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
Oemar Seno Adji S.H.; 2. RI. Asikin Kusumah Atrnadja S.H., 3. Busthanul Arifin
S.H.
TINDAK PIDANA LALU LINTAS
194. XXIII. Tindak pidana Ialu lintas.
Pasal 4a Undang-undang Lalu
Lintas memang ditujukan terhadap pengemudi daripada kendaraan dan bukan
terhadap pemiliknya.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
31-5-1959 No. 216 K/Kr/1959.
Dalam Perkara : Iskandar.
TINDAK PIDANA IMIGRASI
195. XXIX. Tindak pidana imigrasi.
Pasal 4 P.P. No. 45 tahun 1954
yang mewajibkan setiap orang asing yang berumur 16 tahun keatas rnelaporkan
diri kepada Kantor Kepolisian Setempat, ialah bila orang tersebut akan
meninggalkan tempatnya lebih dari 30 hari.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
27-6-1970 No. 80 K/Kr/1968.
Dalam Perkara: Tjin Pai Tje.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
R. Subekti S.H.; 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H., 3. D.H. Lumbanradja
S.H.
TINDAK PIDANA LAIN-LAIN
196. XXX. Tindak pidana perburuhan.
Dari Penjelasan Undang-undang No.
23/1953 yang menunjuk pada Penjelasan P.P. No. 13/1952 nyata bahwa Kantor
Notaris merupakan suatu perusahaan sebagai yang dimaksud oleh pembuat
undang-undang.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
24-8-1965 No. 173 K/Kr/1963.
Dalam Perkara: Anwar Mahjudin.
197. XXX. Tindak pidana perburuhan.
Keberatan yang diajukan penuntut
kasasi, bahwa mereka bersama semata-mata hanya melakukan instruksi dari badan
organisasi atasan yang bertanggung jawab dalam aksi pemogokan tersebut;
tidak dapat dibenarkan karena
dalam hukum pidana instruksi tersebut tidak menghilangkan pertanggungan jawab
mereka masing-masing atas perbuatan mereka tidak tunduk pada putusan P.4.P.
yang mengikat.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
17-3-1956 No. 91 K/Kr/1955.
Dalam Perkara: Soetardi al.
Hadisoetjito dkk.
198. XXX. Tindak pidana perburuhan.
Yang dipandang sebagai pemimpin
dalam pasal 19 Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1951 bukan hanya Dewan
Pimpinan Pusat di Jakarta, tetapi juga pemimpin-pemimpin dari cabang atau
ranting di daerah mana diadakan pemogokan yang tidak sah dan yang bertentangan
dengan putusan P.4.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
27-10-1956 No. 75 K/Kr/1955.
Dalam Perkara: Sudan alias Sajuti
dkk.
199. XXX. Pemakaian tanah perkebunan tanpa izin.
Bahwa benar dalam Undang-undang
No. 51 th. 1960 ditetapkan bahwa perkara-perkara pemakaian tanah perkebunan
terlebih dulu harus diusahakan penyelesaian dengan musyawarah, tetapi dalam hal
itu haruslah diturut ketentuan-ketentuan yang diterapkan oleh Menteri Agraria;
Pasal 5 undang-undang tersebut
tidak memuat ketentuan bahwa terhadap para, pernakai tanah perkebunan dan hutan
sebelum tgl. 12 Juni 1954 tidak diadakan tuntutan pidana.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
19-1-1965 No. 67 K/Kr/1964.
Dalam Perkara: Djuki bin Adang
dkk.
200. XXX. Mempunyai senjata api tanpa izin.
Sejak terdakwa membeli pistol dan
pelurunya sampai ia memperoleh surat izin, terang ia mempunyai pistol dan
peluru tanpa izin dan surat izin yang diperolehnya kemudian, tidak
menghilangkan kesalahannya atas perbuatannya sebelum ia mendapat izin.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
14-11-1961 No. 94 K/Kr/1961.
Dalam Perkara: Abdul Raid bin
Kianggun.
201. XXX.
Menyimpan senjata api tanpa izin yang berwajib
Instansi Pabean tidak berwenang
memberi izin penguasaan senjata api.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
8-4-1967 No. 15 K/Kr/1967.
Dalam Perkara: Teuku Jusuf Muda
Dalam.
dengan Susunan Majelis: 1.
Surjadi SH; 2. Prof. R. Subekti S.H.; 3. M. Abdurrachman S.H.
202. XXX. Mempunyai senjata api tanpa izin.
Kedudukan seseorang (i.c. sebagai
ketua Persatuan Bekas Pejuang RI.) tidak merupakan unsur dari kejahatan
mempunyai senjata api tanpa izin.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
14-3-1960 No. 174 K/Kr/1950.
Dalam Perkara: Abdulmuin.
203. XXX. Menghambat program Pemerintah di
bidang sandang pangan.
Keberatan yang diajukan penuntut
kasasi: bahwa ia meninggalkan pekerjaannya karena kesalahan pimpinan pabrik;
tidak dapat dibenarkan, karena
andaikata pada pimpinan pabrik terdapat kesalahan, hal itu bukanlah alasan
bagi penuntut kasasi untuk meninggalkan pekerjaannya.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9-6-1964
No. 163 K/Kr/1963.
Dalam Perkara: Karijodiardjo
alias Kasmin.
204. XXX. Tindak pidana perumahan.
Penangguhan executie pengosongan
rumah tidak menghilangkan sifat melawan hukum dari pada perbuatan terdakwa:
“menggunakan perumahan tanpa suatu hak atau tanpa surat izin perumahan yang
syah bagi perumahan yang dikuasai Kepala Daerah”.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
12-7-1969 No. 77 K/Kr/1968.
Dalam Perkara: The Kian Hien.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
R. Subekti S.H.; 2. Indroharto S.H.; 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
205. XXX. Tindak pidana perumahan.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi
yang dibenarkan Mahkamah Agung :
Bahwa karena pemilik rumah
tersebut belurn mendapat izin dari kepala K.U.P. untuk memutuskan sewa menyewa,
pihak penyewa masih berhak menempati rumah itu; dengan demikian, karena
terdakwa disuruh menunggunya oleh orang tuanya/penyewa, tidaklah dapat
dikatakan bahwa ia menempati rumah tersebut tanpa bak.
Oleh Pengadilan Tinggi
diputuskan:. “Menyatakan bahwa tuntutan terhadap terdakwa itu tidak dapat
diterima”.
Oleh Pengadilan Negeri terdakwa
dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran “Menggunakan perumahan tanpa suatu
hak”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 30-6-1976
No. 2 K/Kr/1976.
Dalam Perkara: Soewito.
dengan Susunan Majelis: 1.
Purwosunu S.H.; 2. Kabul Arifin S.H.;3. Bustanul Arifin S.H.
206. XXX. Tindak pidana adat yang sesuai dengan
ps. 436 K.U.H.P.
Menurut Adat di Lematang Ogan
Tengah dan menurut Agama seorang ayah yang beragama Islam berkuasa untuk
mengawinkan anaknya yang beragama Islam pula. Maka sudahlah tepat penuntut
kasasi dipersalahkan melanggar pasal 436 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
11-11-1958 No. 145 K/Kr/1958.
Dalam Perkara: Tjik Aim bin
Kuntjit.
207. XXX. Tindak pidana bantuan hukum.
Ordonnantie 21 October (S 1927-
496) yang memuat larangan bagi para kuasa dalam perkara perdata untuk meminta
pembayaran bertentangan dengan ketentuan ordonnantie ini sampai sekarang masih
berlaku.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
18-9-1957 No. 46 K/Kr/1957.
Dalam Perkara: Abdulah gelar
Sutan Penghulu.
HUKUM PIDANA
208. 1.4. Istilah belum dewasa.
Belum dewasa dalam pasal 332
K.U.H.P. haruslah diartikan belum berumur 21 tahun.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 22
Juni 1976 No. 120 K/Kr/1974.
Dalam Perkara: Lutfi Adi bin Mas
Hadi.
dengan Susunan Majelis: 1. Hendrotomo SH. 2. Purwosunu SH. 3. Busthanul Arifin SH.
209. 1.4. Istilah senjata tajam.
Buat seorang petani arit, cangkul
dan parang adalah alat pekerjaan seharihari, yang tidak dapat dianggap
termasuk senjata tajam yang dimaksudkan oleh pasal 2 (1)Undang-undang Darurat
No. 12 tahun 1951.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
12-8-1976 No. 103 K/Kr/1975.
Dalam Perkara: Karnodji alias Pak
Roesli.
dengan Susunan Majelis: 1. Purwosunu SH. 2. Palti Radja Siregar SH. 3. Busthanul
Arifin Sh.
210. II.3. Pidana tambahan.
Mahkamah Militer Tinggi tidak
salah menerapkan hukum dengan menghukum tertuduh dengan pidana tambahan berupa:
penghentian tidak dengan hormat dari ALRI dan pencabutan hak untuk memasuki
ABRI selama 3 (tiga) tahun.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 7 Mei
1979 No. 230 K/Kr/1977.
Dalam Perkara: Simuh.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2.
Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu
SH.
211. IV.3. Melawan hukum.
1. Azas “materiele wederrechtelijkheid”
merupakan suatu “buitenwettelijke uitsluitingsgrond”, suatu buitenwettelijke
rechtsvaardigingsgrond” dan sebagai suatu alasan yang buitenwettelijk sifatnya
merupakan suatu “fait d’excuse” yang tidak tertulis, seperti dirumuskan oleh
doktrin dan yurisprudensi.
Sesuai dengan tujuan dan azas
“materiele wederrechtelijkheid” suatu perbuatan yang merupakan perbuatan
pidana, tidak dapat dipidana apabila perbuatan tersebut adalah sosial adequat.
2. Hasil seminar Hukum Nasional bukanlah
sumber atau dasar hukum, terlepas dari persoalan apakah bunyi resolusi Seminar
Hukum Nasional tersebut mengandung azas materiele wederrechtelijkheid atau
tidak.
3. Azas materiele wederrechtelijkheid diakui
oleh yurisprudensi dan perundang-undangan tertentu (Undang-undang No. 3/1971
tentang Tindak Pidana Korupsi).
4. Dalam hubungannya dengan azas materiele
wederrechtelijkheid maka putusan P.T. harus diperbaiki karena perbuatan tertuduh
dinyatakan “bukan merupakan kejahatan maupun pelanggaran”, sedangkan sebetulnya
perbuatan tersebut adalah merupakan kejahatan (memenuhi unsur-unsur formil),
akan tetapi tertuduh tidak dapat dipidana.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
16-12-1976 No.81 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: Ir. Moch. Otjo
Danaatmadja, Bin Danaatmadja.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
Oemar Seno Adji SH. 2.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH. 3.Purwosunu SH.
212. IV.3. Melawan hukum.
Perbuatan tertuntut kasasi
membongkar bangunan/rumah yang disewanya tanpa izin dari pemiiknya, tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, karena tertuntut kasasi sebagai warga kota
telah memenuhi instruksi Wali Kota Surabaya dengan membangun kembali rumah
tersebut, walaupun di dalam perintah ini tidak terdapat hubungan jenjang
jabatan antara atasan dengan bawahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 51
K.U.H.P. melainkan terdapat hubungan hukum publik antara tertuntut kasasi
dengan Wali Kota.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
19-11-1977 No. 95 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Ny. Toea Wang
Ting alias Tutik Lawati.
dengan Susunan Majelis:
1. Prof. Oemar Seno Adji SH.
2. 2. Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
3. 3. Indroharto SH.
213. IV.3. Pengaduan.
Karena perkara ini bukan mengenai
detik aduan, terdakwa tetap dapat dituntut sekalipun saksi yang mengadukannya
telah mencabut pengaduannya.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 29
Januari 1979 No. 140 K/Kr/1978.
Dalam Perkara: Sukiya
Santrapradja.
dengan Susunan Majelis:
1. Busthanul Arifin SH.
2. 2. Purwosunu SH.
3. 3. Kabul Arifin SH.
214. IV.3. Pengaduan.
Surat saksi yang ditujukan kepada
Polisi, yang pada pokok suratnya menyebutkan “sanggahan dan tuntutan”,
merupakan suatu pengaduan dalam arti pasal 319 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 11
April 1978 No. 35 K/Kr/1977.
Dalam Perkara: Tgk. Syahbuddin
bin Hamzah dkk.
dengan Susunan Majelis: 1.
Buthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
215. V.4. Perencanaan.
Pengadilan Tinggi telah salah
menafsirkan pasal 340 K.U.H.P. karena untuk menerima adanya unsur “perencanaan”
tidak tergantung pada ukuran waktu tertentu.
Putusan Mahkamah Agung tgl.21
Agustus 1978 No. 9K/Kr/1978.
Dalam Perkara: Nyata bin Asnata.
dengan Susunan Majelis: 1.
Buthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
216. VIII.2. Pengrusakan.
Menyebabkan rusaknya sebuah mobil
taxi tidak termasuk dalam perumusan pasal 409 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 12
April 1978 No. 191 K/Kr/1976.
Dalam Perkara: S. Abidin
Situmorang.
dengan Susunan Majelis: 1.
Busthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
217. VIII.9. Penghinaan terhadap Pemerintah atau
terhadap suatu golongan penduduk Indonesia.
Perbuatan “mengeluarkan
pernyataan permusuhan, benci atau merendahkan” dalam pasal 154 dan 156 K.U.H.P.
diartikan oleh Mahkamah Agung sebagai pengeluaran pernyataan permusuhan, benci
atau merendahkan dalam bentuk penghinaan sebagaimana dimaksudkan dalam Titel
XVI Buku Kedua K.U.H.P.
Pengertian tersebut sebagai
pengeluaran pernyataan dalam bentuk penghinaan tidak lagi memperkenankan suatu
penafsiran secara luas dan tidak lagi menyinggung secara jauh kebebasan
materiil untuk menyatakan pendapat.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
14-7-1976 No. 71 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: Saidun Usman.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
Oemar Seno Adji SH. 2. Hendrotomo SH. 3. Busthanul Arifin SH.
218. VIII.9. Tanpa izin menjalankan pekerjaan
yang harus dengan izin.
Menjalankan pekerjaan sebagai
advokat bukanlah pekerjaan yang menurut peraturan umum harus mempunyai izin.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
12-2-1 979 No. 187 K/Kr/1976.
Dalam Perkara: Raden Djoko
Soeroso.
dengan Susunan Majelis: 1.
Busthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
219. XI.6. Perjudian.
Tertuduh yang telah menjual nomor
buntutan, oleh Pengadilan Tinggi telah dengan tepat dipersalahkan atas
kejahatan termaksud dalam pasal 303 ke-2 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9
Februari 1977 No. 26 K/Kr/1976.
Dalam Perkara : Eddy Boedijono
dengan Susunan Majelis: 1.
Busthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
220. XII.1. Penghinaan/pencemaran.
1. Putusan Pengadilan haruslah didasarkan
pada tuduhan, yang dalam perkara ini berdasarkan pasal 315 K.U.H.P. walaupun
kata-kata yang tertera dalam surat tuduhan lebih banyak ditujukan pada pasal
310 K.U.H.P.
2. Berdasarkan tuduhan antara lain “bahwa
P.T. Tjahaja Negeri telah ditutup terdakwa, dan apabila mau menyaksikan
kematian P.T. Tjahaja Negeri tersebut supaya datang dan bila ada barang-barang
yang dipinjamkan oleh P.T. Tjahaja Bank Gemary dan barang-barang yang
tanggungan P.T. Tjahaja Negeri agar segera diangkut demi keamanan barang-barang
tersebut “terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana pasal 315
K.U.H.P. meskipun kata-kata tersebut lebih banyak tertuju terhadap pasal 310
K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
16-12-1976 No. 68 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: Koesmin Faqih BA.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof.
Oemar Seno Adji SH. 2. Purwosunu SH. 3. Busthanul Arifin SH.
221. XII.1. Penghinaan.
Tindak pidana yang terbukti
dilakukan tertuduh (pasal 134 K.U.H.P.) merupakan “penghinaan formil”. Dengan
dikeluarkannya ucapan tersebut sudah terjadi tindak pidana “penghinaan”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9
April 1979 No. 26 K/Kr/1978.
Dalam Perkara: Tan Ging Ing al.
Soegijarto al Djiung.
dengan Susunan Majelis: 1.
Busthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
222. XII.1. Pencemaran.
Menista dengan surat lebih
merupakan penghinaan materiil dari pada penghinaan formil.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 28
April 1979 No. 74 K/Kr/1975.
Dalam Perkara: Hoesin Joesoef.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
Oemar Seno Adji SH. 2. Palti Radja Siregar SH 3. Busthanul Arifin SH.
223. XII.3. Fitnah.
Memasukkan pengaduan palsu kepada
Kepala Desa merupakan tindak pidana termaksud dalam pasal 317 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 15
Oktober 1979 No. 12 K/Kr/1979.
Dalam Perkara: Soeroto bin
Sahuri.
dengan Susunan Majelis:
1.Busthanul Arifin SH. 2.Purwosunu SH. 3.Kabul Arifin SH.
224. XII.4. Membuka rahasia.
Pasal 323 K.U.H.P. itu dapat
berlaku bagi mereka yang bekerja dalam suatu perusahaan tidak berdasar atas
suatu persetujuan ataupun bahwa pasal tersebut meliputi kewajiban untuk
menyimpan rahasia yang tidak dipandang sebagai pelaksanaan dan persetujuan yang
bersangkutan.
Penguruslah yang dapat menentukan
hal-hal khusus manakah yang tidak diberitahukan dan dipandang sebagai rahasia
yang harus disimpan.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
19-11-1977 No. 87K/Kr/1974.
Dalam Perkara: Irawan Saputra
alias Tan Hok Kim dk.
dengan Susunan Majelis: 1.
Busthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
225. XIII.5. Melarikan wanita.
Kawin tidaknya tertuduh tidak
membebaskan ia dari pasal 332 (1) K.U.H.P. yang dituduhkan kepadanya.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
23-4-1979 No. 33 K/Kr/1978
Dalam Perkara: Djoni Sumardjono
dengan Susunan Majelis: 1.
Busthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
226. XV.1. Pencurian.
Pengadilan Tinggi telah keliru
menerapkan pasal 362 KUHP dengan mempertimbangkan bahwa “timbul keragu-raguan
siapa pemiliknya dengan tidak diputus soal perdatanya”, karena pasal 362
K.U.H.P. mencantumkan juga unsur “atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain”,
sedang dalam perkara ini barangbarang yang bersangkutan terbukti adalah
warisan bersama dari pada terdakwa dan saksi Salahuddin.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
30-10-1975 No.71 K/Kr/1975.
Dalam Perkara: Umareng Dg. Silasa
dk.
dengan Susunan Majelis: 1. Palti
Radja Siregar SH. 2. Hendrotomo SH. 3. Busthanul Arifin SH.
227. XV.3. Penipuan.
Memakai merek yang telah
terdaftar tidaklah merupakan suatu perbuatan menipu sebagai termaksud dalam
pasal 382 bis K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 21
Agustus 1978 No. 9 K/Kr/1975.
Dalam Perkara: Paulus Surjatika
alias Tie Kam Poo.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof.
Oemar Seno Adji SH. 2. Busthanul Arifin SH 3. Purwosunu SH.
228. XXVII. Tindak pidana narkotik.
Memiiki obat bius berupa morphine
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Ordonansi Obat Bius sebanyak tidak
lebih dari 10 gram, merupakan pelanggaran.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 7
Juli 1976 No.45 K/Kr/1976.
Dalam Perkara: Goei Khang Kee.
dengan Susunan Majelis: 1.
Purwosunu SH. 2. Busthanul Arifin SH. 3. Kabul Arifin SH.
229. XXX. Tindak pidana adat.
Tertuduh yang telah mengawini
anak tirinya oleh Pengadilan Tinggi telah dengan tepat dinyatakan bersalah
melakukan kejahatan “Gamia gamana”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 5
Januari 1977 No. 11 K/Kr/1976.
Dalam Perkara: Njoman Gatera
alias Pan Maku.
dengan Susunan Majelis: 1.
Busthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
230. XXX. Tindak pidana adat.
Pengadilan Negeri berwenang untuk
memeriksa dan memutus perbuatan yang menurut hukum adat dianggap sebagai
perbuatan pidana yang mempunyai bandingannya dalam K.U.H.P.
Delik adat zina merupakan
perbuatan terlarang mengenai hubungan kelamin antara pria dan wanita, terlepas
dari tempat umum atau tidak perbuatan tersebut dilakukan seperti disyaratkan
oleh pasal 281 K.U.H.P. ataupun terlepas dari persyaratan apakah salah satu
pihak itu kawin atau tidak seperti dimaksudkan oleh pasal 284 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl.
19-11-1977 No.93 K/Kr/1976.
Dalam Perkara: Zainabbun binti
Muhammad dkk.
dengan Susunan Majelis: 1.
Busthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
231. XXX. Penggunaan perumahan tanpa hak
Dengan keluarnya putusan Kepala
Kantor Urusan Perumahan Surabaya yang telah dikuatkan oleh Gubernur (yang
mengakhiri lain penempatan gedung/persil oleh tertuduh), dasar hak tertuduh
untuk menempati gedung/persil tersebut tidak ada lagi, sehingga tertuduh harus
dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran termaksud dalam pasal 20, 1 sub a
P.P. No. 49/1963.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 13
Agustus 1975 No. 165 K/Kr/1977.
Dalam Perkara: Soeseno Tedjo
alias The Chung Sen.
dengan Susunan Majelis: 1.
Busthanul Arifin SH 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
Putusan Ma No.1601 K/PID/1990, Tertanggal 26 Juli 1990 Berbunyi : Unsur delik penipuan (ex Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/ upaya yg digunakan oleh sipelaku, delik sipelaku untuk menggerakan orang lain untuk menyerahkan suatu barang.
Putusan Ma No.70 K/KR/1958, Tertanggal 17 Maret 1959 Berbunyi : bahwa alat bukti surat dalam perkara perdata berlaku juga dalam perkara pidana.
Putusan MA No.552.K/Pid/1994, Tanggal 28 September 1994 menyatakan ”bahwa pengertian juridis ”kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain” harus ditafsirkan dengan kekerasan lahiriah, namun harus ditafsirkan lebih luas, yaitu termasuk pula (Psychische dwang) /paksaan/tekanan psychis (kejiwaan)
Putusan No.1158.K/Pid/1985, tanggal 14 Desember 1987, ”bahwa dengan bukti petunjuk dan bukti surat Visum Et Repertum tersebut dapat membuktikan kesalahan terdakwa”.