KAMI BPPH PP KARAWANG SIAP MEMBELA KEPENTINGAN HUKUM MASYARAKAT KARAWANG-PANCASILA ABADI

18 February 2019

Upaya Gugatan TUN Jika Terjadi Penyerobotan Tanah

Pertanyaan :

Kami memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM), sedangkan pihak lawan yang menyerobot tanah kami hanya SKT (Surat Keterangan Tanah). Ada yang menyarankan kami agar menggugat ke PTUN. Apa dan siapa yang kami gugat? Apa ke PTUN berarti kasus kami termasuk kasus perdata? Lalu, karena pihak lawan memiliki SKT, apakah kepala desa yang menerbitkan SKT tersebut sebagai Tergugat-nya? Mohon penjelasannya. Terima kasih.


Intisari:

Kepala Desa merupakan pejabat yang menjalankan fungsi pemerintahan desa,sehingga Kepala Desa dapat dikategorikan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara yang memiliki wewenang untuk membuat suatu keputusan atau beschiking yang berisi tindakan hukum bersifat konkret, individual, dan final yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Subjek yang digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara adalah pejabat tata usaha negara dan objek yang digugat adalah keputusan tata usaha negara yang memiliki sifat konkrit, individual dan final.

Permasalahan penyerebotan tanah yang Anda alami dapat diajukan gugatannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara karena sengketa yang Anda alami dikategorikan sebagai Sengketa Tata Usaha Negara. Hal ini berhubungan dengan Anda sebagai orang, Kepala Desa tersebut sebagai badan atau pejabat tata usaha negara, dan sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara (Surat Keterangan Tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Desa).

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.


Ulasan:

Terima kasih atas pertanyaan Anda.


Peradilan Tata Usaha Negara

Pengertian mengenai Peradilan Tata Usaha Negara (“PTUN”) sesuai dengan ketentuanPasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 5/1986”) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 9/2004”) dan telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara(“UU 51/2009”) adalah sebagai berikut:

Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakimanbagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.

Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 10 UU 51/2009 dijelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara :

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari ketentuan undang-undang di atas dapat diketahui bahwa PTUN merupakan wadah bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara. Objek sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keputusan tata usaha negara.

Objek PTUN

Objek PTUN adalah Keputusan Tata Usaha Negara sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 9UU 51/2009 adalah:

Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Keputusan Tata Usaha Negara (“TUN”) disebut juga dengan nama lain yaitu Keputusan Administrasi Pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU 30/2014”):

Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Kepala Desa Merupakan Pejabat TUN/Pejabat Pemerintahan

Pasal 1 angka 8 UU 51/2009 menyebutkan pengertian Pejabat TUN sebagai berikut:

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sementara itu, Pasal 1 angka 3 UU 30/2014 juga memberikan pengertian mengenaiPejabat Pemerintahan yakni: 

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka kepala desa dapat dikategorikan sebagai Pejabat Pemerintahan yang melaksanakan fungsi pemerintahan. Sehingga, kepala desa merupakan pejabat TUN.

Hal ini dipertegas dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“UU Desa”) yang menyatakan:

Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.

Karena kepala Desa merupakan pejabat yang menjalankan fungsi pemerintahan desa,maka Kepala Desa dapat dikategorikan sebagai Pejabat TUN yang memiliki wewenang untuk membuat suatu keputusan atau beschiking yang berisi tindakan hukum bersifatkonkret, individual, dan final.

Sengketa TUN

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang PTUN, maka permasalahan penyerebotan tanah yang Anda alami dapat diajukan gugatannya ke Pengadilan TUNkarena sengketa yang Anda alami dikategorikan sebagai Sengketa TUN. Hal iniberhubungan dengan Anda sebagai orang, Kepala Desa tersebut sebagai badan atau pejabat tata usaha negara, dan sebagai akibat dikeluarkannya keputusan TUN(Surat Keterangan Tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Desa).

Selain itu, berdasarkan Yurisprudensi Pengadilan TUN Pekanbaru Nomor: 7/G/2015/PTUN-Pbr, Majelis Hakim TUN berpendapat bahwa terdapat 3 (tiga) unsur penting dari suatu Sengketa TUN adalah :

1. Objek dari sengketanya haruslah selalu berbentuk Keputusan TUN;

2. Subjek dari sengketanya haruslah berhadapan antara orang atau Badan Hukum Perdata (selaku pihak penggugat) dengan Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan TUN yang digugat (selaku pihak tergugat);

3. Sifat sengketanya haruslah selalu persoalan hukum dalam ranah TUN yang berupa perbedaan pendapat mengenai penerapan Hukum TUN (Hukum Administrasi Negara) mengenai diterbitkannya Keputusan TUN yang dijadikan objek sengketa.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka subjek yang digugat adalah pejabat TUN dan objek yang digugat adalah keputusan TUN yang memiliki sifat konkrit, individual dan final.

Namun perlu diingat, terdapat jangka waktu untuk menggugat Keputusan TUN, yaitu 90 hari terhitung sejak diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat TUN, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 UU 5/1986, sebagai berikut:

Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa dalam sengketa TUN yang menjadi tergugat (digugat) adalah badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang dalam hal ini adalah Kepala Desa yang mengeluarkan Surat Ketarangan Tanah tersebut, dan yang menjadi objek gugatannya adalah Surat Keterangan Tanah tersebut.

Terkait dengan pertanyaan Anda apakah berarti kasus TUN termasuk kasus perdata, maka kami jawab bahwa antara PTUN dan Perdata adalah dua sistem hukum atau peradilan yang berbeda. Dari segi kompetensi, PTUN dan Perdata adalah dua kompetensi absolut yang berbeda dan memiliki sistematika peradilannya masing-masiang sesuai dengan undang-undang yang mengatur kompetensi absolut tersebut.

Hal ini dapat dilihat dari hukum acara atau hukum formil dari keduanya yang berbeda. Selain itu, dalam PTUN subjek hukum yang bersengketa adalah orang atau badan hukum perdata dengan pejabat TUN. Sedangkan dalam perkara perdata subjek hukum yang bersengketa adalah antara subjek hukum orang dengan orang tanpa melibatkan pejabatTUN. Dari segi objek sengketa, objek sengketa perkara perdata dapat berupa Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi, sedangkan objek sengketa TUN adalah beschiking atau surat keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat TUN (dalam hal ini adalah kepala desa yang mengeluarkan Surat Keterangan Tanah).

Langkah yang Dapat Dilakukan

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan, maka pertama Anda dapat memperkarakan kasus tersebut melalui gugatan ke PTUN dengan menjadikan Kepala Desa tersebut sebagai Tergugat sebab pihak Kepala Desa yang mengeluarkan Keputusan TUN sebagaipenetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata yakni Surat Keterangan Tanah tersebut.

Selain itu, masih ada instrumen hukum lain yang bisa Anda gunakan misalnyamengajukan perkara tersebut melalui gugatan perdata ke Pengadilan Negeri atas dasarPerbuatan Melawan Hukum, atau melaporkan yang bersangkutan (si pemilik SKT) kepada Kepolisian dengan Pasal 167 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)[1], apabila pihak yang menggunakan alas hak Surat Keterangan Tanah itu tanpa hak menyerobot atau masuk tanah (pekarangan) Anda.

Sebagai tambahan, hak kebendaan yang Anda miliki yakni Hak Milik (dibuktikan dengan Sertifikat Hak Milik). Hak milik adalah hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf a jo. Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sehingga bukti Sertifikat Hak Milik sebagai dasar kepemilikan atau keberhakan Anda terhadap tanah tersebut tentu lebih kuat dibandingkan Surat Keterangan Tanah.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat


Dasar hukum:



Putusan:

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru Nomor: 7/G/2015/PTUN-Pbr.
[1] Pasal 167 ayat (1) KUHP: “Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lima sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

SUMBER: HUKUM ONLINE

Mau Mem-PHK? Cermati Dua Putusan MK Ini


Hasil gambar untuk PHK

Tidak ada putusan MK yang menghambat pemberi kerja (perusahaan) untuk melakukan PHK. Terpenting, pengusaha harus bisa membuktikan alasan PHK.

Undang-Undang (UU) No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, salah satu UU yang terbanyak diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan catatan Hukumonline, sudah 33 kali UU Ketenagakerjaan diuji materi dan menempati urutan ke-7 diantara 10 UU terbanyak diuji sepanjang MK berdiri. Tentunya, putusan MK terkait beberapa pengujian UU Ketenagakerjaan mengubah norma yang berlaku, terutama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Praktisi Hukum Hubungan Industrial, Juanda Pangaribuan mencatat sedikitnya ada 2 putusan MK mengenai pengujian UU Ketenagakerjaan yang menyinggung norma PHK. Pertama, putusan MK No.012/PUU-I/2003, salah satu amarnya menyatakan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan inkonstitusional bersyarat. Norma Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, intinya membuka peluang pemberi kerja melakukan PHK dengan alasan buruh melakukan kesalahan berat.

Dalam pertimbangannya, MK menilai kesalahan berat yang dimaksud ketentuan itu tanpa due process of law melalui putusan pengadilan. Namun, hanya melalui keputusan (sepihak) pengusaha yang didukung oleh bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara (pidana) yang berlaku.

Sebab, MK melihat Pasal 160 UU Ketenagakerjaan mengatur berbeda, bahwa buruh yang ditahan pihak berwajib karena diduga melakukan pidana tetapi bukan atas pengaduan pengusaha, diperlakukan sesuai asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Hingga bulan keenam buruh yang bersangkutan masih memperoleh sebagian haknya. Bila pengadilan menyatakan buruh tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan kembali.

Juanda berpendapat putusan MK itu bisa diartikan pengusaha tidak bisa serta merta (otomatis) melakukan PHK terhadap buruh sebelum ada putusan pengadilan pidana. Meski demikian, mantan hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial (PHI) Jakarta itu melihat dalam praktiknya tidak sedikit buruh yang di-PHK karena diduga melakukan pidana (belum diputus bersalah oleh pengadilan). 

Namun, jika perkara PHK ini berlabuh ke PHI, yang akan diuji dalam persidangan bukan soal perbuatan yang telah dilakukan apakah tergolong pidana atau bukan, melainkan prasyarat yang ada dalam hubungan kerja. Bagi Juanda, salah satu prasyarat dalam hubungan kerja adalah kedua pihak tidak boleh melakukan pelanggaran.

Misalnya, buruh melakukan tindakan yang dikategorikan pelanggaran berat sebagaimana disebutkan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan. Untuk melakukan PHK, pengusaha tidak perlu menunggu terlebih dulu keluarnya putusan pidananya. Persoalannya, apakah kesalahan berat yang dilakukan pekerja itu dibenarkan atau tidak dalam konteks hubungan kerja? 

“Dalam praktiknya ada PHK dengan alasan pekerja melakukan pelanggaran atau pidana,” kata Juanda saat memberi materi dalam Pelatihan Hukumonline 2019 dengan tema “Tata Cara Melakukan PHK dan Penyelesaian Perselisihan PHK (Angkatan VIII)" di Jakarta, Rabu (30/1/2019).

Kedua, putusan MK No.19/PUU-IX/2011 yang menguji konstitusionalitas Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Juanda menerangkan ketentuan ini membolehkan pengusaha untuk melakukan PHK karena perusahaan melakukan efisiensi. Dalam pertimbangannya, MK berpendapat Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan tidak mengatur secara jelas frasa “perusahaan tutup”.

Akibatnya, norma ini kerap disalahgunakan perusahaan sesuai kepentingannya masing-masing. Misalnya, anggapan penutupan perusahaan sementara untuk melakukan renovasi merupakan bagian dari efisiensi dan bisa dijadikan alasan melakukan PHK.

Menurut MK, norma tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi kelangsungan jaminan hak pekerjaan bagi buruh yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945. Untuk memberi kepastian hukum, MK menyatakan PHK dengan alasan efisiensi itu konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu.

Menurut Juanda, putusan MK mengenai PHK dengan alasan efisiensi ini dalam praktiknya tidak bisa diterapkan pada seluruh kasus PHK. Perusahaan bisa saja melakukan PHK dengan alasan efisiensi. Meski MK mengartikan efisiensi itu bergulir setelah perusahaan tutup permanen. “Tapi praktiknya tidak seperti itu,” kata dia.

Efisiensi biasanya dilakukan untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman kerugian, perubahan strategi bisnis, atau dampak dari penerapan teknologi. Karena itu, Juanda berpendapat putusan MK ini tidak menghalangi pemberi kerja untuk melakukan PHK dengan dalih efisiensi.

“PHK dengan alasan efisiensi bisa dilakukan perusahaan dan perusahaan harus memenuhi kewajiban membayar dua kali pesangon,” tutur Juanda mengingatkan.

Mengacu dua putusan itu, Juanda berkesimpulan putusan MK tidak menghalangi pengusaha untuk melakukan PHK. Terpenting, pengusaha harus mampu membuktikan alasan PHK, terutama jika perkara ini berproses di PHI.

Sumber: Hukum Online

Menteri ATR/Kepala BPN Tegaskan Tidak Ada Pungli dalam Pembuatan Sertipikat


Menteri ATR/Kepala BPN Tegaskan Tidak Ada Pungli dalam Pembuatan Sertipikat

Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan A. Djalil, dengan tegas membantah adanya pungli pada proses pembuatan sertipikat tanah di lingkungan ATR/BPN. Bantahan tersebut merespon berita miring yang akhir-akhir dilansir beberapa media. 

Pemerintah menyadari bahwa ada potensi terjadinya pungutan liar alias pungli, maka disusunlah Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang terdiri dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis. 

“Untuk layanan BPN sepenuhnya ditanggung oleh negara, tetapi pada tahap pra sertipikat seperti menyediakan materai, membuat patok tanah, mengumpulkan bukti hak kepemilikan memang mereka dikenakan biaya,” ujar Menteri ATR/Kepala BPN pada acara Kompas Petang, Jumat (8/2). 

Berdasarkan SKB 3 Menteri biaya yang dimaksud mencakup 3 (tiga) hal berikut; kegiatan penyiapan dokumen, pengadaan patok dan materai, operasional petugas kelurahan atau desa dengan jumlah maksimal Rp 450.000,-. 

“Jumlah nominalnya beda-beda hal tersebut bisa diputuskan oleh musyawarah desa atau dengan peraturan Bupati sesuai dengan tingkat kesulitan suatu daerah,” ungkap Sofyan A. Djalil 

Kementerian ATR/BPN akan tetap melakukan penindakan terhadap segala kegiatan yang melanggar aturan atau menyalahgunakan wewenang. “Yang jadi masalah Kalau masyarakat tidak mau melapor kami tidak bisa ambil tindakan, begitu juga polisi,” kata Menteri ATR/Kepala BPN. 

Dalam perspektif besar, misalnya di tahun 2017 seluruh produk PTSL mencapai 5,4 juta dan di tahun 2018 meningkat menjadi 9,3 juta, Menteri ATR/Kepala BPN mengakui terjadi pelanggaran, tetapi persentasenya sangat kecil dan terus dilakukan sosialisasi ke masyarakat. 

Pemerintah juga menyadari bahwa kebutuhan masyarakat seperti kepastian hukum hak atas tanah dan akses ke perbankan untuk rakyat dan pengusaha kecil maka Presiden memberikan target 9 juta tanah harus terdaftar di tahun 2019, dan mendaftarkan seluruh tanah di Indonesia pada tahun 2025. (LS)

TATA CARA IKUT PROGRAM PENDAFTARAN TANAH SISTEM LENGKAP (PTSL)

Revisi infografis PTSL 1-01-01

Revisi Infografis PTSL2-01

Revisi Infografis PTSL3-01

Revisi Infografis PTSL4-01


Revisi Infografis PTSL5-01


Babak Baru Pelaksanaan Reforma Agraria


Babak Baru Pelaksanaan Reforma Agraria

Jakarta – Salah satu komitmen Pemerintah adalah menata persoalan agraria. Penataan agraria harus dimulai dengan sertipikasi tanah. Sertipikat tanah selama ini dinilai masyarakat sulit, lama, dan mahal untuk mendapatkannya. Maka dari itu, Pemerintah melakukan percepatan sertipikasi tanah di seluruh Indonesia melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Selain itu, keseriusan pemerintah melaksanaan penataan agraria juga telah di tegaskan dengan ditandatanginya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria pada tanggal 24 September 2018 lalu. Terbitnya peraturan ini merupakan wujud Pemerintah untuk menjamin pemerataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.

“Pada tahun 2018, dari 7 juta target PTSL sampai dengan Oktober ini kita sudah berhasil mendaftarkan tanah di seluruh Indonesia sebanyak 6,192,875 bidang. Kita optimistis akan melampaui target yang ditetapkan,” ujar Sofyan A. Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) di Jakarta (18/10).

Reforma Agraria dimaknai sebagai penataan aset (asset reform) dan penataan akses (access reform). Penataan aset dalam hal ini adalah pada pemberian tanda bukti kepemilikan atas tanahnya (sertipikasi hak atas tanah), sedangkan penataan akses adalah penyediaan dukungan atau sarana-prasarana dalam bentuk penyediaan infrastruktur, dukungan pasar, permodalan, teknologi, dan pendampingan lainnya sehingga subyek Reforma Agraria dapat mengembangkan kapasitasnya.

“Jadi selama ini ada masyarakat yang tinggal di daerah kampung, tapi tidak bisa kita diberikan hak apapun karena masih dalam kawasan hutan. Presiden memerintahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengerluarkan dari Kawasan hutan. KLHK telah memberikan kepada kita lebih dari 994.000 ha kawasan hutan untuk bisa diberikan kepada rakyat. Kemudian untuk tanah terlantar dan transmigrasi yang selama ini belum bersertipikat akan disertipikatkan, dan HGU yang ditelantarkan kita ambil alih dan dibagikan kepada masyarakat,” ujar Sofyan A. Djalil.

Pada kesempatan yang sama, M. Ikhsan Direktur Jenderal Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN juga mengatakan dengan lahirnya Perpres Nomor 88 Tahun 2017 Tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, hal tersebut sejalan dengan pelepasan 994.000 ha Kawasan hutan yang nantinya akan dilakukan redistribusi tanah.

“Di lapangan sedang dilakukan inventarisasi. Ini harus jelas jangan sampai dimanfaatkan lagi oleh orang-orang tertentu sehingga harus benar-benar profesional dan selektif terhadap subjek Reforma Agraria yang memang diperuntukkan untuk masyarakat kurang mampu,” ujar M. Ikhsan.

Hal lain yang tidak kalah penting selain mendaftarkan bidang tanah di seluruh Indonesia dan melaksanakan agenda reforma agraria, Kementerian ATR/BPN tetap mengutamakan pelayanan publik, termasuk menyelesaikan sengketa tanah. Saat ini, sedang disiapkan Rancangan Undang-Undang pertanahan untuk mencegah sengketa di masa yang akan datang.

“Kalau anda punya sertipikat maka negara akan menjamin sertipikat ini. Tidak akan mungkin lagi sertipikat ini diganggu gugat kalau diganggu gugat dan ternyata salah maka negara yang akan bayar. Itu akan kita masukan ke dalam undang-undang pertanahan tersebut,” ujar Sofyan A. Djalil.

Tidak kalah penting dari sertipikasi tanah, keberhasilan pembangunan infrastruktur tidak terlepas dari pengadaan tanah. Kemudian ditambahkan oleh Sofyan A. Djalil, Undang-Undang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum, dan berbagai langkah inovatif dan strategis lainnya telah memperlancar pembangunan jalan tol, bandara, bendungan, embung dan infrastruktur lainnya seperti pembangunan tiga runway untuk Bandara Soekarno Hatta.

Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria merupakan harapan baru masyarakat Indonesia yang pastinya dapat mempercepat pencapaian Reforma Agraria dan ini sebagai bentuk payung hukum bukti keseriusan Pemerintah melaksanakan dan menyukseskan program Reforma Agraria.

Harapan Setelah terbitnya Perpres 86 Tahun 2018 adalah 1. Pencapaian sasaran Reforma Agraria yaitu pengentasan kemiskinan dan pemerataan ekonomi; 2. Memberikan kepastian dan keadilan kepada masyarakat; 3. Tersedianya informasi pertanahan yang berkualitas dengan penggunaan teknologi; 4. Mengurangi terjadinya sengketa dan konflik agraria; 5. Dukungan dana peran serta masyarakat dalam mensukseskan Reforma Agraria, sehingga tanah dapat menyejahterakan rakyat.

Saat ini telah terbentuk kelembagaan Reforma Agraria baik secara nasional di ketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, di tingkat pusat diketuai oleh Menteri ATR/Kepala BPN, sedangkan di tingkat provinsi diketuai oleh Gubernur. Ini sebagai langkah maju sehingga pelaksanaan Reforma Agraria baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah dapat dilaksanakan secara terkoordinasi dengan baik. (TM/NA/WD/RO)

sumber: https://www.atrbpn.go.id