Menurut Yahya Harahap, antara PMH dan wanprestasi terdapat perbedaan prinsip, yaitu:
A. Ditinjau dari sumber hukum:
- Wanprestasi : Wanprestasi menurut Pasal 1243 KUHPer timbul dari persetujuan (agreement)
- PMH : PMH menurut Pasal 1365 KUHPer timbul akibat perbuatan orang
B. Timbulnya hak menuntut
- Wanprestasi : Hak menuntut ganti rugi dalam wanprestasi timbul dari Pasal 1243 KUHPer, yang pada prinsipnya membutuhkan pernyataan lalai (somasi)
- PMH : Hak menuntut ganti rugi karena PMH tidak perlu somasi. Kapan saja terjadi PMH, pihak yang dirugikan langsung mendapat hak untuk menuntut ganti rugi
C. Tuntutan ganti rugi
- Wanprestasi : KUHPer telah mengatur tentang jangka waktu perhitungan ganti rugi yang dapat dituntut, serta jenis dan jumlah ganti rugi yang dapat dituntut dalam wanprestasi
- PMH : KUHPer tidak mengatur bagaimana bentuk dan rincian ganti rugi. Dengan demikian, bisa dgugat ganti rugi nyata dan kerugian immateriil
Oleh karena itu, Yahya Harahap berpendapat bahwa tidak dapat dibenarkan mencampuradukkan wanprestasi dan PMH dalam gugatan.
Yahya selanjutnya juga mengutip putusan Mahkamah Agung (“MA”) No. 879 K/Pdt/1997 mengenai penggabungan wanprestasi dan PMH dalam satu gugatan. Dalam putusan ini dijelaskan bahwa penggabungan demikian melanggar tata tertib beracara, atas alasan bahwa keduanya harus diselesaikan tersendiri. Posita gugatan mendasarkan pada perjanjian, akan tetapi dalam petitum menuntut mengenai PMH. Konstruksi gugatan seperti ini dinilai mengandung kontradiksi, dan gugatan dinyatakan obscuur libel (tidak jelas).
Selain putusan di atas, MA juga pernah mengeluarkan yurisprudensi mengenai masalah penggabungan ini, yaitu dalam putusan MA No. 1875 K/Pdt/1984 tanggal 24 April 1986. Dalam putusan MA itu disebutkan:
“Penggabungan gugatan perbuatan melawan hukum dengan perbuatan ingkar janji tidak dapat dibenarkan dalam tertib beracara dan harus diselesaikan secara tersendiri pula “
Sumber: HumkumOnline